Senin, 17 Desember 2018

Published Desember 17, 2018 by with 0 comment

Joko Dolok


Joko Dolok


Kala itu di desa Truno, kala traktor-traktor besar Belanda terus menerus menggerus tanah-tanah dan menggali dalam batu-batu mangaan di desa Truno, Tuminem seorang pekerja wanita yang hamil besar bersimpuh mengerang. Sambil membuang pukulnya, Tuminem memegang perut besarnya. Kala itu Belanda tak lama kemudian berteriak “Laut (Lay out) laut (Lay Out)…” tanda waktu bekerja telah berakhir. Tuminem yang hamil besar kontraksi hebat tepat saat waktu bekerja berakhir yang mungkin jika dulu ada jam, maka kurang lebih menunjukan waktu sore sekitar pukul empat.

“Hyunggggg… tulungono aku… loro tenan. Aku ra kuat”. Tuminem banjir peluh dan air mata tak kuasa menahan rasa sakit yang dirasakannya. Setelah kelelahan memukul batu-batu mangaan hasil tambang sepanjang hari, Tuminem lantas merasakan kontraksi hebat di perut besarnya. Pekerja lain yang kala itu turut bekerja lantas menghampiri Tuminem yang sudah tumbang dengan ketuban mengalir deras di sela-sela pahanya dan mengenai jarik yang di pakainya.

“Tumini arep bayen… Tumini arep bayen…” Teriak Yati yang melihat rubuhnya tubuh Tuminem.  Teriakan Yati didengar oleh pekerja lain yang tak lama kemudian berhamburan mendekap tubuh Tuminem yang tak berdaya.

“Wes mbuka, wes mbuka. Gek dundangke Mbah Dukuh wae. Gek ndang gowo bali nang omahe” Teriak Waginem. Waginem sempat menyibak jarik Tuminem dan melihat jalan lahir Tuminem. Waginem lantas menyuruh warga lainnya untuk membawa Tuminem yang lemah ke rumahnya yang berada di Gunung Telo, sebuah bukit tinggi sekitar 2 kilo meter dari Penbo tempat mereka bekerja itu. Sementara Waginem berlari ke desa Dukuh desa sebrang untuk memanggil mbah dukuh. Sebutan untuk dukun sidhat atau dukun melahirkan kala itu. Tuminem di bopong Parman dan Yati mengikutinya dari belakang.

Tuminem lemah bersimbah peluh kini berada di senthong, sebuah bilik di dalam rumahnya dan terbaring di atas dipan yang beralaskan galar. Parman dan Yati yang kala itu mengantar Tuminem pulang segera menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan untuk keperluan sidhat. Pintu senthong yang tadinya tertutup dibuka lebar bahkan oleh Parman dijebolnya pintu itu. Sengaja tanda akan terjadi kehebohan yang besar saat Tuminem melahirkan. Agar banyak orang yang datang bisa leluasa melihat kondisi Tuminem dengan leluasa.  

“Man… saiki genenono wedang. Aku tak gelari jarik” himbau Yati pada Parman. Yati menyuruh Parman untuk segera menyiapkan air hangat. Parman dengan cekatan mengambil air dari sumur belakang rumah Tuminem dan menyiapkan perapian untuk menghangatkan air. Sementara suara teriakan Tuminem masih terdengar nyaring terdengar justru semakin membuat Parman melupakan kelelahannya usai bekerja dan semakin cekatan memanaskan air untuk membasuh Tuminem saat sidhat nanti.

“Ti… ra ono kayu cemepak. Kayune entek, garek blarak garing wae”. Parman menemukan masalah saat mulai menyiapkan perapian. Tak ada kayu kering yang tersisa di dekat luweng, nama perapian jaman dulu. Hanya tersisa blarak garing atau daun kelapa kering yang tentu tak cukup awet menjag api agar tetap menyala.

“Brongoten wae nggo blarak sek akeh mengko rak yon ndang umep”. Yati lantas menyuruh Parman segera membakar kendi-kendi berisi air sumur dengan blarak-blarak tadi. Sebuah cara tercepat jika tidak ada kayu bakar. Tanpa ragu parman mulai membakar kendi-kendi itu. Parman juga mengambil tumpukan damen atau jerami kering di kandang sapi milik Tuminem untuk membakar kendi-kendi. Asap membumbung tinggi kala api mulai menjalari blarak dan damen yang mengenai kendi-kendi air.

Hari mulai sore menjelang surup. Yati telah selesai menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan Tuminem untuk melahirkan di dalam senthong. Sentir atau lentera api telah dihidupkan di samping tempat tidur Tuminem untuk penerangan. Jarik-jarik lawas Tumen telah tersusun rapi di bawah tubuh Tuminem untuk tadah darah saat Tuminem bersimbah darah melahirkan nanti. Tinggal air yang belum juga panas yang belum disiapkan. Parman masih saja membakar blarak hingga asap-asap mengepul dan api mulai terlihat jelas sebab matahari mulai meredup. Diiringi teriakan-teriakan Tuminem yang tak kunjung berhenti yang entah sampai kapan berhenti.

Sementara itu, Waginem dan mbah dukuh sedang berjalan menuju rumah Tuminem. Perjalanan lumayan jauh dan melelahkan. Tak ada transportasi apapun yang membantu mereka datang lebih cepat ke rumah Tuminen. Sepanjang jalan menanjak mulai terdengar suara jangkrik dan gonggongan anjing hutan yang berasal dari hutan seberang. Berbekal blarak dan korek mereka berjaga-jaga untuk penerangan bila hingga malam tiba mereka belum sampai di rumah Tuminem. Pelan-pelan mereka berjalan lalu terlihatlah dari kejauhan sebuah rumah kayu berpeluk.

“Kae mbah dukuh, omahe si Tuminen.  Sek ono peluk e kae.” Waginem menunjukan kepada Mbah Dukuh sebuah rumah kayu joglo dengan peluk membumbung tinggi dibelakangnya dan percikan-percikan api yang terlihat. Peluk yang berasal dari perapian Parman saat itu.

“Monggo Mbah, Tuminem sajak pun mboten kuat maleh” Waginem lantas segera membawa Mbah Dukuh ke rumah Tuminem dan mempercepat langkah mereka.

“Wes mbukak piro mau?” Mbah Dukuh bertanya mengenai jalan lahir yang sudah Waginem lihat dari Tuminem untuk memperkirakan kapan akan lahir bayinya.

“Aku mau ndelokke agek mbukak siji Mbah” Jawab Waginem dengan raut muka khawatir. Waginem tahu bahwa masih ada proses panjang dan menyakitkan yang akan Tuminem rasakan saat menanti bayinya lahir.

“Mugo-mugo cepet tambah buka ane. Kurang luweh si jabang bayi bakal lahir mengko tengah wengi. Mangkakno mengko tengah wengi kui wayahe sang candragrahana kedadean. Bakal ono Bathara Narada lan tekane si Joko Dolok. Ojo lali golek o lumpang sek gedhe lan kumpulno kabeh wong wadon-wadon kene. Undangno sek lanang-lanang kon ngewangi lek-lekan”. Kekawatiran di raut muka Mbah Dukuh tak bisa disembunyikan meskipun surup-surup cahaya matahari telah sirna. Mbah Dukuh yang terkenal sebagai dukun bayi yang tak diragukan kembali kemampuannya seantero Truno mewanti-wanti Waginem agar mengumpulkan para perempuan untuk membunyikan lesung dan para laki-laki untuk ngendong saat bayi Tuminem lahir tengah malam nanti saat gerhana bulan datang. Pembukaan jalan lahir Tuminem yang masih sedikit membuat Mbah Dukuh ragu akan lahirnya si jabang bayi secepat mungkin. Kemungkinan baru akan terdengar tangisan bayi saat tengah malam nanti saat sang Bathara Narada menelan perlahan sang candra dan saat sang Joko Dolok mulai mengincar bayi di tengah sunyinya malam.

“Oalah biyung… tulungono. Nasibmu kok koyo ngene Tum. Mangkakno wes ditinggal bojomu minggat”. Keluh Waginem yang iba melihat nasib Tuminem yang merupakan seorang janda yang ditinggal pergi sang suami tepat 4 bulan setelah menikah atau ketika kandungan Tuminem diusia ke 3 bulan. Sang suami pergi akibat sihir pelet Suryani yang cinta buta dengan suami Tuminem. Ketika Tuminem sedang alami ngidam hebat disitulah Paryono sang suami jatuh cinta dengan kemolekan tubuh Suryani. Sungguh nasib yang menguji iman Tuminem.

            Waginem dan Mbah Dukuh sampai ke rumah Tuminem. Terikan Tuminem terdengar masih nyaring. Bergegas Yati menyambut mereka dan mengarahkan mereka ke dalam senthong dan memperlihatkan kondisi Tuminem yang sudah pucat pasi. Mbah dukuh perlahan membantu Tuminem menata nafas dan melakukan pekerjaannya.

            Sementara itu Waginem yang teringat wejangan Mbah Dukuh segera mengajak Parman untuk mengkondisikan keadaan. Sedang Yati masih dengan setia menemani Tuminem dan Mbah Dukuh berjuang antara hidup dan mati.

“Man… mengko wengi ono candragrahana. Gek golekno aku lumpang karo golekno uwong-uwong kon ngendong rene. Ojo nganti kendat tetabuhane. Mergo adewe ora ngerti bakal ono opo ne kora ono tetabuhan ro benek e uwong nang kene”.   Waginem lantas menyuruh Parman pergi mencari lumpang, sebuah penutu padi yang dapat dibunyikan dengan beriirama. Sedang Waginem memilih turun bukit dengan berbekal obor dari blarak dan mencari ibu-ibu desa untuk membunyikan gejog lesung saat bayi lahir nanti.

“Yu… Siji-sijine kang due lumpang gejog lesung namung Toh Suro to Yu. Aku yo ora wani nek kon nggolek lumpang e kui dewe. Aku kudu nggawa bekal opo dinggo njilih lumpang e Toh Suro” Ujar ragu Parman saat Waginem menyuruhnya meminjam lumpang gejog lesung pada Toh Suro. Hal ini menyulitkan Parman yang tak mampu berhadapan dengan Toh Suro sang penguasa gaib desa Truno. Pemilik lumpang gejog lesung yang tersimpan rapat di sebuah gubuk di puncak bukit Toh Suro.

Lumpang yang sering berbunyi secara gaib di malam satu sura yang kemungkinan Toh Suro lah yang memainkannya. Lumpang ini akan di pinjam warga dengan syarat yang banyak untuk meminjamnya saat malam gerhana untuk tetabuhan mengusir Bathara Narada yang akan menelan bulan. Namun karena bayi Tuminem lahir tepat di saat candragrahana datang, maka gejog lesung itu harus di bunyikan malam itu juga demi menjaga jabang bayi dari jahatnya Joko Dolok si penculik bayi dan Bathara Narada yang entah akan berbuat apa jika tak ada tetabuhan sesuai wejangan Mbah Dukuh.

“Wes pokok e golekno lumpang kui. Goleko wong lanang-lanang liyane kanggo ngrewangi koe leh mu nembung ro Toh Suro. Aku tak golek wong wadon-wadon”. Waginem tak menggubris dengan kepanikannya ia tak mungkin bisa berpikir jernih. Ia menyalakan obor blaraknya lalu turun bukit untuk mengabari para ibu-ibu desa agar segara merapa ke rumah Tuminem. Sementara Parman nekat pergi naik ke bukit ke Toh Suro. Berniat mengambil lumpang tanpa melalui berbagai syarat. Demi amannya sang jabang bayi nanti.

Oeeeee oeeeee terdengar tangisan bayi lahir dari Rahim sang Ibu. Tangisan bayi laki-laki yang menggelegar disambut belasan para ibu-ibu desa yang telah bersiap menabuh gejog lesung. Sementara itu bulan sudah hampir setengah hilang. Keringat membanjiri Mbah Dukuh yang sedari tadi resah akan keadaan. Semantara itu, lesung yang akan dicarikan Parman tak kunjung ada. Parman belum kembali ke rumah Tuminem. Padahal sudah tepat tengah malam dengan longongan srigala yang mulai menggila di malam itu. Waginem resah tak beraturan. Mondar-mandir sambil mencari apapun benda yang bisa dibunyikan sebagai pengganti lesung untuk dibunyikan.

Sementara Tuminem memejamkan matanya. Lemas tak berdaya sambil darahnya di lap oleh Mbah Dukuh. Sedang Yati yang tanggap segera membersihkan darah di seluruh tubuh bayi laki-laki lalu mengambil jarik bayi dan menggedongnya atau membalutkan jarik itu ke sekujur tubuh bayi agar tidak kedinginan.

            Waginem masih bingung. Ibu-ibu lain juga turut merasakan keresahan di balik kebahagiaan lahirnya sang jabang bayi. Belum ada bunyi-bunyian yang dapat bunyikan. Sementara bulan kian tertutup dan malam mulai larut dan sunyi. Angin semilir membangkitkan bulu kuduk tanda kehadiran Joko Dolok mulai terasa. Sedangkan kaum laki-laki tak ada satupun di rumah Tuminem melainkan menyusul Parman ke bukit Toh Suro yang tak kunjung selesai mengambil lesung Toh Suro.

            Aungan srigala mulai terdengar ramai. Anjing-anjung hutan mulai menggonggong. Diiringi tangisan jabang bayi yang juga melengking. Tuminem tersadar dan membuka matanya. Sementara yati meletakan bayi Tuminem di samping tubuh Tuminem dan bergegas mengambil kendil wadah ari-ari atau plasenta bayi Tuminem. Tuminem mengelus kepala sang bayi sambil berucap, “Kelik Candragrahana” sebuah nama yang terbesit di benak Tuminem untuk menamai sang jabang bayi. Mbah dukuh yang mendengar ucapan Tuminem tersenyum. Nama yang indah untuk seorang bayi laki-laki yang lahir di saat gerhana bulan. Kelik artinya adalah anak laki-laki, secangkan candragrahana adalah gerhana bulan. Diciumlah kening sang bayi. Meski tangan tak mampu mendekap karena letih tak terkira.

            Mbah Dukuh yang kala itu berada di samping Tuminem bergegas menyusul Yati untuk mengubur ari-ari dan membuat penerangan di belakang rumah Tuminem. Sementara Waginem masih berada di luar Bersama ibu-ibu sambil ceceluk atau bebeluk sambil mengucapkan kalimat-kalimat untuk sang Joko Dolok yang mulai hadir rasa-rasanya dan Bathara Narada untuk berhenti menelan sang bulan. “Ealah ealah Joko Dolok. Iki bayiku dudu bayimu.” Terus berulang ulang sambil menabuh kentongan yang waginem dapat dari samping rumah Tuminem. Lesung yang harusnya dibunyikan tak kunjung datang. Bahkan Waginem sempat berpikir buruk pada Parman yang mengabaikan perintahnya. Gejog lesung adalah bukti usaha warga yang turut melawan ganasnya dan liciknya Joko Dolok untuk merebut sang bayi dari ibunya. Sebuah usaha untuk kalahkan Joko Dolok agar tak dapat masuk ke pekarangan rumah Tuminem dan mengicar bayi Tuminem.

Ibu-ibu desa terus menerus menyebutkan kalimat itu hingga tak terhitung jumlahnya. Sambil kentongan terus dibunyikan. Namun rasa-rasa resah dan mencekam tak kunjung hilang bahkan semakin terasa. Seolah angin berlari kearah rumah Tuminem dengan dahsyatnya. Srigala menggonggong seolah turut mendekati rumah Tuminem mengantar sang Joko Dolok menyusup ke rumah Tuminem.

Hingga tak disangka-sangka sesuatu yang buruk akhirnya terjadi. Tuminem kejang dan Kelik menghilang. Joko Dolok menang akibat lesung tak kunjung datang. Si Parman tak kunjung datang karena turut menghilang dibawa Toh Suro akibat lesung yang curi. Kabar hilangnya Parman datang dari para kaum laki-laki yang membawa oncor datang ke rumah Tuminem sembari memberi kabar hilangnya jejak si Parman seiring hilangnya Kelik.

Kelik sang jabang bayi lahir saat gerhana bulan. Tak diendong dan tak di gejog lesung. Kini sirnalah Kelik diambil Joko Dolok dari pelukan sang Ibu. Ikhlas dan rela sang Ibu kembali nelangsa. Joko Dolok memang pintar angon limpene uwong. Disaat tubuh Tuminem tak berdaya, disaat Mbah Dukuh dan Yati pergi. Disitulah Kelik diculik sang Joko Dolok.

Konon jika bayi lahir maka wajib untuk sebagian warga mengendong. Jika tidak maka sirnalah bayi itu dari dekapan sang Ibu dengan misterius tanpa dapat dipikir dengan akal sehat. Warga menyebut Joko Dolok, sejenis mahkluk gaib yang akan mengambil sang bayi secara misterius tanpa terduga dan mengambil angon limpene uwong atau mengambil kesempatan dalam kesempitan.  Maka selalu ketika seorang bayi lahir dan mulai menangis saat untuk pertama kali menyentuh udara dunia, rombongan ibu-ibu desa terburu-buru menyiapkan lumpangnya dan memulai gejog lesung. Membuat bunyi-bunyian untuk menghalau sepi, mencegah sang Joko Dolok datang mencandai sang bayi dan merebutnya dari sang Ibu. Gejog lesung diperdengarkan juga sebagai tanda bahwa lahirlah seorang bayi. Agar semua warga tahu dan dapat me-ngendong bayi itu setiap malam. Me-ngendong artinya menjaga sang bayi setiap malam tanpa tertidur hingga larut malam menjelang pagi agar sang bayi mempunyai “batir” atau teman di kala malam dan menjaganya dari ganasnya Joko Dolok yang sewaktu-waktu mengincar sang bayi di angon limpene atau mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika sang bayi ditinggal tidur sang penjaga.



           









Joko Dolok



Kala itu di desa Truno, kala traktor-traktor besar Belanda terus menerus menggerus tanah-tanah dan menggali dalam batu-batu mangaan di desa Truno, Tuminem seorang pekerja wanita yang hamil besar bersimpuh mengerang. Sambil membuang pukulnya, Tuminem memegang perut besarnya. Kala itu Belanda tak lama kemudian berteriak “Laut (Lay out) laut (Lay Out)…” tanda waktu bekerja telah berakhir. Tuminem yang hamil besar kontraksi hebat tepat saat waktu bekerja berakhir yang mungkin jika dulu ada jam, maka kurang lebih menunjukan waktu sore sekitar pukul empat.

“Hyunggggg… tulungono aku… loro tenan. Aku ra kuat”. Tuminem banjir peluh dan air mata tak kuasa menahan rasa sakit yang dirasakannya. Setelah kelelahan memukul batu-batu mangaan hasil tambang sepanjang hari, Tuminem lantas merasakan kontraksi hebat di perut besarnya. Pekerja lain yang kala itu turut bekerja lantas menghampiri Tuminem yang sudah tumbang dengan ketuban mengalir deras di sela-sela pahanya dan mengenai jarik yang di pakainya.

“Tumini arep bayen… Tumini arep bayen…” Teriak Yati yang melihat rubuhnya tubuh Tuminem.  Teriakan Yati didengar oleh pekerja lain yang tak lama kemudian berhamburan mendekap tubuh Tuminem yang tak berdaya.

“Wes mbuka, wes mbuka. Gek dundangke Mbah Dukuh wae. Gek ndang gowo bali nang omahe” Teriak Waginem. Waginem sempat menyibak jarik Tuminem dan melihat jalan lahir Tuminem. Waginem lantas menyuruh warga lainnya untuk membawa Tuminem yang lemah ke rumahnya yang berada di Gunung Telo, sebuah bukit tinggi sekitar 2 kilo meter dari Penbo tempat mereka bekerja itu. Sementara Waginem berlari ke desa Dukuh desa sebrang untuk memanggil mbah dukuh. Sebutan untuk dukun sidhat atau dukun melahirkan kala itu. Tuminem di bopong Parman dan Yati mengikutinya dari belakang.

Tuminem lemah bersimbah peluh kini berada di senthong, sebuah bilik di dalam rumahnya dan terbaring di atas dipan yang beralaskan galar. Parman dan Yati yang kala itu mengantar Tuminem pulang segera menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan untuk keperluan sidhat. Pintu senthong yang tadinya tertutup dibuka lebar bahkan oleh Parman dijebolnya pintu itu. Sengaja tanda akan terjadi kehebohan yang besar saat Tuminem melahirkan. Agar banyak orang yang datang bisa leluasa melihat kondisi Tuminem dengan leluasa.  

“Man… saiki genenono wedang. Aku tak gelari jarik” himbau Yati pada Parman. Yati menyuruh Parman untuk segera menyiapkan air hangat. Parman dengan cekatan mengambil air dari sumur belakang rumah Tuminem dan menyiapkan perapian untuk menghangatkan air. Sementara suara teriakan Tuminem masih terdengar nyaring terdengar justru semakin membuat Parman melupakan kelelahannya usai bekerja dan semakin cekatan memanaskan air untuk membasuh Tuminem saat sidhat nanti.

“Ti… ra ono kayu cemepak. Kayune entek, garek blarak garing wae”. Parman menemukan masalah saat mulai menyiapkan perapian. Tak ada kayu kering yang tersisa di dekat luweng, nama perapian jaman dulu. Hanya tersisa blarak garing atau daun kelapa kering yang tentu tak cukup awet menjag api agar tetap menyala.

“Brongoten wae nggo blarak sek akeh mengko rak yon ndang umep”. Yati lantas menyuruh Parman segera membakar kendi-kendi berisi air sumur dengan blarak-blarak tadi. Sebuah cara tercepat jika tidak ada kayu bakar. Tanpa ragu parman mulai membakar kendi-kendi itu. Parman juga mengambil tumpukan damen atau jerami kering di kandang sapi milik Tuminem untuk membakar kendi-kendi. Asap membumbung tinggi kala api mulai menjalari blarak dan damen yang mengenai kendi-kendi air.

Hari mulai sore menjelang surup. Yati telah selesai menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan Tuminem untuk melahirkan di dalam senthong. Sentir atau lentera api telah dihidupkan di samping tempat tidur Tuminem untuk penerangan. Jarik-jarik lawas Tumen telah tersusun rapi di bawah tubuh Tuminem untuk tadah darah saat Tuminem bersimbah darah melahirkan nanti. Tinggal air yang belum juga panas yang belum disiapkan. Parman masih saja membakar blarak hingga asap-asap mengepul dan api mulai terlihat jelas sebab matahari mulai meredup. Diiringi teriakan-teriakan Tuminem yang tak kunjung berhenti yang entah sampai kapan berhenti.

Sementara itu, Waginem dan mbah dukuh sedang berjalan menuju rumah Tuminem. Perjalanan lumayan jauh dan melelahkan. Tak ada transportasi apapun yang membantu mereka datang lebih cepat ke rumah Tuminen. Sepanjang jalan menanjak mulai terdengar suara jangkrik dan gonggongan anjing hutan yang berasal dari hutan seberang. Berbekal blarak dan korek mereka berjaga-jaga untuk penerangan bila hingga malam tiba mereka belum sampai di rumah Tuminem. Pelan-pelan mereka berjalan lalu terlihatlah dari kejauhan sebuah rumah kayu berpeluk.

“Kae mbah dukuh, omahe si Tuminen.  Sek ono peluk e kae.” Waginem menunjukan kepada Mbah Dukuh sebuah rumah kayu joglo dengan peluk membumbung tinggi dibelakangnya dan percikan-percikan api yang terlihat. Peluk yang berasal dari perapian Parman saat itu.

“Monggo Mbah, Tuminem sajak pun mboten kuat maleh” Waginem lantas segera membawa Mbah Dukuh ke rumah Tuminem dan mempercepat langkah mereka.

“Wes mbukak piro mau?” Mbah Dukuh bertanya mengenai jalan lahir yang sudah Waginem lihat dari Tuminem untuk memperkirakan kapan akan lahir bayinya.

“Aku mau ndelokke agek mbukak siji Mbah” Jawab Waginem dengan raut muka khawatir. Waginem tahu bahwa masih ada proses panjang dan menyakitkan yang akan Tuminem rasakan saat menanti bayinya lahir.

“Mugo-mugo cepet tambah buka ane. Kurang luweh si jabang bayi bakal lahir mengko tengah wengi. Mangkakno mengko tengah wengi kui wayahe sang candragrahana kedadean. Bakal ono Bathara Narada lan tekane si Joko Dolok. Ojo lali golek o lumpang sek gedhe lan kumpulno kabeh wong wadon-wadon kene. Undangno sek lanang-lanang kon ngewangi lek-lekan”. Kekawatiran di raut muka Mbah Dukuh tak bisa disembunyikan meskipun surup-surup cahaya matahari telah sirna. Mbah Dukuh yang terkenal sebagai dukun bayi yang tak diragukan kembali kemampuannya seantero Truno mewanti-wanti Waginem agar mengumpulkan para perempuan untuk membunyikan lesung dan para laki-laki untuk ngendong saat bayi Tuminem lahir tengah malam nanti saat gerhana bulan datang. Pembukaan jalan lahir Tuminem yang masih sedikit membuat Mbah Dukuh ragu akan lahirnya si jabang bayi secepat mungkin. Kemungkinan baru akan terdengar tangisan bayi saat tengah malam nanti saat sang Bathara Narada menelan perlahan sang candra dan saat sang Joko Dolok mulai mengincar bayi di tengah sunyinya malam.

“Oalah biyung… tulungono. Nasibmu kok koyo ngene Tum. Mangkakno wes ditinggal bojomu minggat”. Keluh Waginem yang iba melihat nasib Tuminem yang merupakan seorang janda yang ditinggal pergi sang suami tepat 4 bulan setelah menikah atau ketika kandungan Tuminem diusia ke 3 bulan. Sang suami pergi akibat sihir pelet Suryani yang cinta buta dengan suami Tuminem. Ketika Tuminem sedang alami ngidam hebat disitulah Paryono sang suami jatuh cinta dengan kemolekan tubuh Suryani. Sungguh nasib yang menguji iman Tuminem.

            Waginem dan Mbah Dukuh sampai ke rumah Tuminem. Terikan Tuminem terdengar masih nyaring. Bergegas Yati menyambut mereka dan mengarahkan mereka ke dalam senthong dan memperlihatkan kondisi Tuminem yang sudah pucat pasi. Mbah dukuh perlahan membantu Tuminem menata nafas dan melakukan pekerjaannya.

            Sementara itu Waginem yang teringat wejangan Mbah Dukuh segera mengajak Parman untuk mengkondisikan keadaan. Sedang Yati masih dengan setia menemani Tuminem dan Mbah Dukuh berjuang antara hidup dan mati.

“Man… mengko wengi ono candragrahana. Gek golekno aku lumpang karo golekno uwong-uwong kon ngendong rene. Ojo nganti kendat tetabuhane. Mergo adewe ora ngerti bakal ono opo ne kora ono tetabuhan ro benek e uwong nang kene”.   Waginem lantas menyuruh Parman pergi mencari lumpang, sebuah penutu padi yang dapat dibunyikan dengan beriirama. Sedang Waginem memilih turun bukit dengan berbekal obor dari blarak dan mencari ibu-ibu desa untuk membunyikan gejog lesung saat bayi lahir nanti.

“Yu… Siji-sijine kang due lumpang gejog lesung namung Toh Suro to Yu. Aku yo ora wani nek kon nggolek lumpang e kui dewe. Aku kudu nggawa bekal opo dinggo njilih lumpang e Toh Suro” Ujar ragu Parman saat Waginem menyuruhnya meminjam lumpang gejog lesung pada Toh Suro. Hal ini menyulitkan Parman yang tak mampu berhadapan dengan Toh Suro sang penguasa gaib desa Truno. Pemilik lumpang gejog lesung yang tersimpan rapat di sebuah gubuk di puncak bukit Toh Suro.

Lumpang yang sering berbunyi secara gaib di malam satu sura yang kemungkinan Toh Suro lah yang memainkannya. Lumpang ini akan di pinjam warga dengan syarat yang banyak untuk meminjamnya saat malam gerhana untuk tetabuhan mengusir Bathara Narada yang akan menelan bulan. Namun karena bayi Tuminem lahir tepat di saat candragrahana datang, maka gejog lesung itu harus di bunyikan malam itu juga demi menjaga jabang bayi dari jahatnya Joko Dolok si penculik bayi dan Bathara Narada yang entah akan berbuat apa jika tak ada tetabuhan sesuai wejangan Mbah Dukuh.

“Wes pokok e golekno lumpang kui. Goleko wong lanang-lanang liyane kanggo ngrewangi koe leh mu nembung ro Toh Suro. Aku tak golek wong wadon-wadon”. Waginem tak menggubris dengan kepanikannya ia tak mungkin bisa berpikir jernih. Ia menyalakan obor blaraknya lalu turun bukit untuk mengabari para ibu-ibu desa agar segara merapa ke rumah Tuminem. Sementara Parman nekat pergi naik ke bukit ke Toh Suro. Berniat mengambil lumpang tanpa melalui berbagai syarat. Demi amannya sang jabang bayi nanti.

Oeeeee oeeeee terdengar tangisan bayi lahir dari Rahim sang Ibu. Tangisan bayi laki-laki yang menggelegar disambut belasan para ibu-ibu desa yang telah bersiap menabuh gejog lesung. Sementara itu bulan sudah hampir setengah hilang. Keringat membanjiri Mbah Dukuh yang sedari tadi resah akan keadaan. Semantara itu, lesung yang akan dicarikan Parman tak kunjung ada. Parman belum kembali ke rumah Tuminem. Padahal sudah tepat tengah malam dengan longongan srigala yang mulai menggila di malam itu. Waginem resah tak beraturan. Mondar-mandir sambil mencari apapun benda yang bisa dibunyikan sebagai pengganti lesung untuk dibunyikan.

Sementara Tuminem memejamkan matanya. Lemas tak berdaya sambil darahnya di lap oleh Mbah Dukuh. Sedang Yati yang tanggap segera membersihkan darah di seluruh tubuh bayi laki-laki lalu mengambil jarik bayi dan menggedongnya atau membalutkan jarik itu ke sekujur tubuh bayi agar tidak kedinginan.

            Waginem masih bingung. Ibu-ibu lain juga turut merasakan keresahan di balik kebahagiaan lahirnya sang jabang bayi. Belum ada bunyi-bunyian yang dapat bunyikan. Sementara bulan kian tertutup dan malam mulai larut dan sunyi. Angin semilir membangkitkan bulu kuduk tanda kehadiran Joko Dolok mulai terasa. Sedangkan kaum laki-laki tak ada satupun di rumah Tuminem melainkan menyusul Parman ke bukit Toh Suro yang tak kunjung selesai mengambil lesung Toh Suro.

            Aungan srigala mulai terdengar ramai. Anjing-anjung hutan mulai menggonggong. Diiringi tangisan jabang bayi yang juga melengking. Tuminem tersadar dan membuka matanya. Sementara yati meletakan bayi Tuminem di samping tubuh Tuminem dan bergegas mengambil kendil wadah ari-ari atau plasenta bayi Tuminem. Tuminem mengelus kepala sang bayi sambil berucap, “Kelik Candragrahana” sebuah nama yang terbesit di benak Tuminem untuk menamai sang jabang bayi. Mbah dukuh yang mendengar ucapan Tuminem tersenyum. Nama yang indah untuk seorang bayi laki-laki yang lahir di saat gerhana bulan. Kelik artinya adalah anak laki-laki, secangkan candragrahana adalah gerhana bulan. Diciumlah kening sang bayi. Meski tangan tak mampu mendekap karena letih tak terkira.

            Mbah Dukuh yang kala itu berada di samping Tuminem bergegas menyusul Yati untuk mengubur ari-ari dan membuat penerangan di belakang rumah Tuminem. Sementara Waginem masih berada di luar Bersama ibu-ibu sambil ceceluk atau bebeluk sambil mengucapkan kalimat-kalimat untuk sang Joko Dolok yang mulai hadir rasa-rasanya dan Bathara Narada untuk berhenti menelan sang bulan. “Ealah ealah Joko Dolok. Iki bayiku dudu bayimu.” Terus berulang ulang sambil menabuh kentongan yang waginem dapat dari samping rumah Tuminem. Lesung yang harusnya dibunyikan tak kunjung datang. Bahkan Waginem sempat berpikir buruk pada Parman yang mengabaikan perintahnya. Gejog lesung adalah bukti usaha warga yang turut melawan ganasnya dan liciknya Joko Dolok untuk merebut sang bayi dari ibunya. Sebuah usaha untuk kalahkan Joko Dolok agar tak dapat masuk ke pekarangan rumah Tuminem dan mengicar bayi Tuminem.

Ibu-ibu desa terus menerus menyebutkan kalimat itu hingga tak terhitung jumlahnya. Sambil kentongan terus dibunyikan. Namun rasa-rasa resah dan mencekam tak kunjung hilang bahkan semakin terasa. Seolah angin berlari kearah rumah Tuminem dengan dahsyatnya. Srigala menggonggong seolah turut mendekati rumah Tuminem mengantar sang Joko Dolok menyusup ke rumah Tuminem.

Hingga tak disangka-sangka sesuatu yang buruk akhirnya terjadi. Tuminem kejang dan Kelik menghilang. Joko Dolok menang akibat lesung tak kunjung datang. Si Parman tak kunjung datang karena turut menghilang dibawa Toh Suro akibat lesung yang curi. Kabar hilangnya Parman datang dari para kaum laki-laki yang membawa oncor datang ke rumah Tuminem sembari memberi kabar hilangnya jejak si Parman seiring hilangnya Kelik.

Kelik sang jabang bayi lahir saat gerhana bulan. Tak diendong dan tak di gejog lesung. Kini sirnalah Kelik diambil Joko Dolok dari pelukan sang Ibu. Ikhlas dan rela sang Ibu kembali nelangsa. Joko Dolok memang pintar angon limpene uwong. Disaat tubuh Tuminem tak berdaya, disaat Mbah Dukuh dan Yati pergi. Disitulah Kelik diculik sang Joko Dolok.

Konon jika bayi lahir maka wajib untuk sebagian warga mengendong. Jika tidak maka sirnalah bayi itu dari dekapan sang Ibu dengan misterius tanpa dapat dipikir dengan akal sehat. Warga menyebut Joko Dolok, sejenis mahkluk gaib yang akan mengambil sang bayi secara misterius tanpa terduga dan mengambil angon limpene uwong atau mengambil kesempatan dalam kesempitan.  Maka selalu ketika seorang bayi lahir dan mulai menangis saat untuk pertama kali menyentuh udara dunia, rombongan ibu-ibu desa terburu-buru menyiapkan lumpangnya dan memulai gejog lesung. Membuat bunyi-bunyian untuk menghalau sepi, mencegah sang Joko Dolok datang mencandai sang bayi dan merebutnya dari sang Ibu. Gejog lesung diperdengarkan juga sebagai tanda bahwa lahirlah seorang bayi. Agar semua warga tahu dan dapat me-ngendong bayi itu setiap malam. Me-ngendong artinya menjaga sang bayi setiap malam tanpa tertidur hingga larut malam menjelang pagi agar sang bayi mempunyai “batir” atau teman di kala malam dan menjaganya dari ganasnya Joko Dolok yang sewaktu-waktu mengincar sang bayi di angon limpene atau mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika sang bayi ditinggal tidur sang penjaga.



           








Read More
    email this       edit

Minggu, 04 Maret 2018

Published Maret 04, 2018 by with 1 comment

Gay dan Stereotipe Masyarakat



Gay dan Stereotipe Masyarakat


100% Opini saya

Perlahan anggapan buruk saya mengenai kaum gay berkurang semenjak mengenal kawan saya ini. Sebut saja Ian. Sudah tiga tahun ini saya mengenal baik dirinya. Bermula dari dari sebuah film Thailand ternyata kami memiliki selera film yang sama. Sama-sama suka film dari negeri gajah putih.  Bermula dari situlah kami sama-sama berselancar mencari film-film terbaik dari Thailand. Hingga suatu hari salah satu film bertema gay ditawarkan padaku untuk ditonton bersama.  Merasa penasaran aku memutuskan untuk menonton bersama Ian dan saling berbincang mengenai industri film Thailand yang banyak di dominasi dengan tema gay. Pada akhirnya Ian mengaku bahwa dirinya menyukai film bertema gay karena dirinya yang juga seorang gay.

                Ketika saat itu, saya harus dihadapkan pilihan yang cukup berat. Berhenti berteman dan kehilangan teman berbincang yang cerdas, atau tetap berteman meski dengan seorang gay. Mengingat stereotip negatif yang berkembang di kalangan masyarakat terhadap kaum gay, saya sempat terpengaruh sehingga sempat terbesit ketakutan saya ketika saya harus berteman dengannya. 

                Adanya kasus penggrebegan tempat gym dan sauna di Jakarta beberapa waktu lalu menambah kuat opini buruk masyarakat sebagian masyarakat.  Beberapa orang menganggap gay adalah sebuah penyakit masyarakat yang perlu dimusnahkan. Embel-embel generasi bermoral indonesia selalu dikoarkan dan disangkut pautkan hanya demi menolak adanya kaum gay. Pandangan buruk masyarakat mengenai kaum tersebut bahkan semakin berkembang saat ini. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Banyak masyarakat yang menghubungkan gay dengan agama. Opini mereka tentang gay yang melanggar ketentuan agama, nilai, dan norma selalu dikoarkan. Menganggap gay adalah sesuatu yang hina. Bahkan tak sedikit masyarakat berpikir bahwa gay kerap dihubungkan dengan dunia malam, seks bebas, bergonta-ganti pasangan, bahkan HIV dan AIDS.
                Saat ini masyarakat Indonesia sedang gencar menutup beberapa situs media sosial gay seperti aplikasi Blued dan Grindr. Masyarakat khawatir apabila kaum gay akan semakin mudah untuk berkomunikasi dan jaringan kaum gay akan semakin banyak di Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai, moral, dan agama, tak sedikit masyarakat yang mendukung pemblokiran beberapa situs tersebut. 

                Gay dapat menular. Anggapan ini juga sering sekali saya dengan dari beberapa orang. Seolah gay adalah adalah penakit yang menyebar lewat virus. Masyarakat beranggapan bahwa awal mula seseornag dapat terjerumus dalam dunia gay adalah karena lingkungan. Masyarakat seolah mematenkan pendapat mereka mengenai hal itu. Masyarakat tidak pernah berpikir adakah faktor lain yang dapat ditoleransi mengenai perkembangan gay. Jika Ian, kawan saya yang selama hidupnya tidak pernah bergaul dengan dunia gay dan tidak pernah dibesarkan dalam didikkan orang tua yang salah apakah masyarakt masih saya menganggap gay adalah semata-mata datang dari lingkungan? Ian adalah orang yang cerdas. Banyak prestasi yang diraihnya selama ia bersekolah dan berkuliah.

Terakhir dia bahkan diberi kesempatan untuk mengikuti sebuah konferensi pemuda berprestasi di beberapa negara. Berbicara soal agama, Ian adalah seseorang yang sangat religius. Tutur katanya juga sangat baik. Bagaimana dengan pergaulannya? Dia jauh dari kata dunia malam. Apalagi seks bebas. Berpacaran pun tidak pernah. Hanya saja satu hal yang sekarang masih menjadi polemik dalam diri Ian. Dia hanya bisa menyukai sesama jenisnya. Beberapa kali ia jatuh cinta dengan seorang lelaki. Ketakutan Ian akan anggapan buruk masyarakat membuat ia cinderung menutupi jati dirinya. Padahal semua anggapan masyarakat terhadap kaum gay justru bertolak belakang dengan kehidupan Ian yang sesungguhnya. 
                Dengan siapa Ian terbuka? Ian hanya dapat terbuka dengan tema yang ia anggap bisa menjaga rahasianya. Ian juga menggunakan sebuah media sosial yang menghubungkannya dengan kaum gay lainnya. Sempat saya bertanya media sosial apakah yang ia pakai, dan apakah itu semata-mata untuk mencari pasangan. Ian menjawab bahwa semua anggapan saya itu salah. Ternyata terdapat sebuah media sosial gay yang jauh dari hal-hal buruk seperti apa yang dianggap masyarakat kebanyakan. Justru media sosial tersebut dimanfaatkan mereka, kaum gay untuk lebih produktif terutama soal kepenulisan. Sebuah media sosial ini mirip seperti star up yang memfasilitasi beberapa creator nya untuk membuat sebuah cerita baik cerpen, cerbung, artikel yang berisi informasi, serta seputar kesehatan terutama kesehatan seksual. Media sosial tersebut justru mengkapanyekan untuk menjauhi seks bebas dan melindungi diri dari HIV AIDS yang memang kerap menimpa beberapa diantara mereka. 

                Adalah suatu hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Anggapan buruk saya tentang buruknya kaum gay kini sedikit memudar. Meski dalam diri saya tetap menyakini bahwa gay adalah perbuatan menyimpang, namun saya tetap berpikir positif. Selama orang gay mampu menjaga dirinya dengan baik, produktif, cerdas, dan tidak membawa pengaruh buruk bagi hidup saya, mengapa saya harus berhenti berteman dengannya hanya karena dia adalah seorang gay. Opini buruk masyarakat tentang gay bukanah seratus persen salah. Namun bisa saja salah, karena tidak semua orang gay adalah orang yang hina. Sama seperti kaum heteroseksual, dimana tetap saja akan ada diantara mereka yang berperilaku baik maupun buruk. Kaum heteroseksual bukan tidak mungkin juga akan melanggar norma dengan perilaku seks bebas mereka dan pergaulan bebas mereka. Sama halnya dengan kaum gay. Ada diantara mereka yang tetap berada di jalur aman, namun ada pula mereka yang melanggar norma. 

                Stereotipe buruk terhadap suatu kaum minoritas, penghinaan, diskriminasi menurut saya bukanlah jalan terbaik untuk mengembalikan kaum minoritas ini untuk kembali ke jalan yang benar. Justru akan mematikan produktifitas mereka. Mahasiswa UI banyak yang gay, bahkan salah satu pencipta facebook pun adalah seorang gay. Salah satu cara untuk membantu mereka kembali ke jalan yang benar adalah melalui pendekatan yang baik, membawa mereka ke kehidupan yang wajar dengan cara yang wajar pula.
Read More
    email this       edit

Rabu, 03 Januari 2018

Published Januari 03, 2018 by with 1 comment

Jagongan Seputar Pembangunan Bandara Kulon Progo



Bambang Istiyanta dan Masyarakat
(Jagongan Seputar Pembangunan Bandara Kulon Progo)
Eka Putriyana Widyastuti

Ketika dunia politik gencar dengan strategi komunikasi politik modern, anggota DPRD ini berkomitmen memeluk masyarakat tanpa strategi komunikasi politik yang menyulitkan dirinya. Adalah Bambang Istiyanta seorang anggota DPRD Kulon Progo periode 2014-2019 yang menjawat sebagai wakil ketua fraksi bersatu. Beliau memilih mengesampingkan hal-hal politik ketika ia sudah berada di ruang lingkup masyarakat. Menjadi bagian dari masyarakat adalah prinsip utama yang selalu dijunjung oleh beliau. Selama tiga tahun menjawat sebagai anggota DPRD, Bambang Istiyanta selalu berada dalam pelukan masyarakat. Menjadi orang pertama yang dipanggil saat masyarakat ingin menyaluran aspirasinya.
Bambang Istiyanta dikenal sebagai seorang yang berjiwa sosial. Beliau dengan senang hati ditemu untuk wawancara. Saat itu saya berkeinginan meminta pendapat mengenai masalah pembangunan Bandara di Kulon Progo yang akhir-akhir ini menjadi masalah sensitif di kalangan masyarakat. Umumnya, seseorang yang ingin malakukan wawancara, akan mendatangi narasumber dan membuat janji bertemu. Namun beliau justru ingin mendatangi saya di rumah dan mengajak warga lain untuk turut bergabung dalam sebuah diskusi. Di waktu senggangnya, beliau sanggup memenuhi janji wawancara dan menanggapi dengan baik apa yang ditanyakan dan menanggapi opini dan keresahan warga saat itu. Beliau dikenal sebagai seorang yang mempunyai jiwa sosialisasi yang baik. Banyak waktu yang ia sempatkan untuk sekedar melakukan jagongan dengan masyarakat.
            Selama menjawat sebagai anggota DPRD, memang banyak hal telah dilakukan Pak Bambang Istiyanta untuk turut mengembangkan potensi di Kulon Progo. Mulai dari memajukan objek wisata seperti kalibiru termasuk hal promosi, dan pembangunan dari awal objek wisata, pengembangan alun-alun wates yang tidak hanya menjadi tempat olah raga namun menjadi tempat kawasan “dolan” dengan turut serta mengembangkan pedagang kaki lima dan kawasan taman, serta turut serta dalam proses perencanaan pembangunan bandara di Kulon Progo.
            Keistimewaan dari pak Bambang Istiyanta adalah ini adalah mampu menjadi bagian masyarakat yang siap menyalurkan aspirasi masyarakat. Dari awal kampanyenya beliau memang memilih segmentasi sasasaran masyarakat Desa Karangsari. Bukan karena beliau semata-mata juga berasal dari Desa Karangsari, namun beliau menjadi satu-satunya wakil dari Desa Karangsari yang menjadi anggota DPRD Kulon Progo. Beliau menjadi satu-satunya orang yang menyalurkan aspirasi masyarakat Desa Karangsari ke meja pemerintahan. Beliau turut andil dalam pengembangan baik infrastruktur dan perekonomian di Desa Karangsari meskipun beliau juga turut andil di berbagai daerah di Kulon Progo lainnya. Tak ada strategi khusus yang beliau terapkan semasa kampanyenya. Dengan pendekatan yang intensif dan menjalin keakraban dengan masyarakat menjadi modal beliau untuk mengambil hati masyarakat. Keaktifannya dalam membantu masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya dan mendengar kebutuhan masyarakat menjadi alasan masyarakat mempercayakan kedudukan sebagai anggota DPRD kepada beliau. 

Pro Kontra Perencanaan Pembangunan Bandara

            Selama dua jam melakukan jagongan dengan Bambang Istiyanta, banyak pendapat yang ia utarakan seputar pembangunan Bandara baru di Kulon Progo yang saat itu juga menjadi topik wawancara saya. Sempat saya menanyakan tentang berbagai media yang mempublikasikan tentang keterpurukan warga korban penggusuran bandara baru Kulon Progo. Media tersebut membuat banyak publik termasuk mahasiswa terpancing dan mempercayai begitu saja yang dikatakan media. Bahkan tak sedikit mahasiswa yang membangun solidaritas dan tak sedikit pula yang melakukan aksi untuk menentang pembangunan bandara baru di Kulon Progo. Sehingga muncul berbagai pertanyaan apakah benar masyarakat Kulon Progo dirugikan secara besar-besarakan akibat pembangunan Bandara, apakah tindakan pemerintah dalam mensosialisasikan progam tersebut salah? dan apakah pemerintah salah dalam melakukan relokasi sehingga mengharuskan bentrok yang panjang dan melukai sebagian warga Kulon Progo? Adakah uji kelayakan sebelum dilakukan pembangunan?
            Beliau menjawab dengan tenang dengan kata pertama yang muncul adalah 70% warga dari seluruh warga yang relokasi menyetujui dan 30% sisanya menolak karena terprovokasi. Sedangkan warga Kulon Progo diluar wilayah relokasi bandara tidak masalah dengan pembangunan bandara dan menyambut dengan baik hadirnya bandara baru di Kulon Progo. Mengingat akan terjadi perubahan pesat perekonomian yang akan terjadi saat bandara telah di bangun. Khususnya dibidang transportasi, usaha kuliner, pariwisata dan sebagainya. Yang menjadi PR untuk pemerintah kedepannya adalah bagaimana cara membuat warga bisa mandiri dan kreatif untuk menyambut datangnya Bandara baru dengan mengasah potensi yang ada.
            30% masyarakat yang masih belum menyetujui adalanya relokasi bandara adalah masyarakat yang terprovokasi oleh pihak-pihak luar. Bambang Istiyanta berpendapat dengan adanya pembangunan besar yang akan merubah kondisi sosial dan ekonomi di kalangan masyarakat Kulon Progo pastinya akan menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggal bagi daerah-daerah lain di Yogyakarta. Ketakutan warga lain diluar Kulon Progo akan menurunnya penghasilan perekonomian menjadi alasannya. Sebagai contoh dengan adanya pembangunan bandara pasti akan ada banyak warga Kulon Progo yang beralih profesi ke bidang transportasi seperti menyediakan jasa tumpangan seperti taxi dan ojek. Jika memang besok diperkirakan lahan bisnis jasa ini akan dikuasi oleh sebagian warga Kulon progo, tentu akan menimbulkan kecemburuan penyelenggara jasa transportasi lainnya di luar Kulon Progo yang lebih dulu telah meraup penghasilan dari jasa transportasi.
            Bukan faktor sosialisasi yang kurang, ganti rugi yang kurang, atau uji keamanan yang menjadi alasan sebagian warga masih menolak. Ini semua hanya karena faktor provokasi dan ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya perubahan. Pemerintah telah berupaya melakukan sosialiasi dan musyawarah dengan warga setempat. Hasilnya 70% sudah bersedia untuk direlokasi dengan ganti rugi yang besar. Sedangkan persoalan tentang uji keamanan sudah dipetimbangkan melalui perencanaan pembangunan jauh-jauh hari dan telah diuji kelayakannya bahkan sebelum relokasi. Bambang Istiyanta yang turut melakukan perencaanan pembangunan ini mengatakan bahwa beliau sempat datang ke Lombok dimana disana juga direncakan sebuah pebangunan bandara baru. Beliau mengutarakan bahwa pembangunan bandara di Kulon Progo ini dinilai jauh lebih aman ketimbang pembangunan bandara di Lombok. Mengingat tidak banyak pemukiman yang berada di kawasan pembangunan Bandara Kulon Progo. Intinya wilayah tersebut bukan wilayah padat penduduk. Sehingga tidak banyak perumahan yang akan direlokasi. Letaknya di dekat pantai juga dinilai strategis ketimbang membangun bandara di luar daerah Kulon Progo yang justru dinilai lebih memiliki resiko yang besar. Beliau juga mengatakan bahwa selama pembangunan warga masih diberi akses untuk keluar masuk wilayah pantai. Ketika bandara di bangun nanti, akses para nelayan tidak akan terganggu. Sistem agraria akan tetap baik-baik saja mengingat tidak banyak lahan pertanian pokok seperti padi disana. Hanya pertanian seperti buah-buahan seperti semangka, melon, dan cabai yang itupun juga tidak akan terganggu dengan relokasi bandara.

Jangan Resah Soal Bandara

            Dalam perbincangan dengan Bambang Istiyanta, sempat pula menyinggung keresahan warga mengenai efek negatif pembangunan bandara Kulon Progo disamping mereka menyetujui pembangunan tersebut. saat itu beliau menuturkan bahwa dalam masalah perekonomia masyarakat kita harus terus aktif dan kreatif serta mandiri. Jangan jadi penonton yang hanya berdiri diam dan melihat. Masyaraat harus cekatan dan tanggap dengan apa yang akan terjadi dari perubahan besar-besaran yang akan terjadi. Terutama dalam hal perekonomian. Pemuda diharapkan tidak melulu berharap bisa turut mendapat pekerjaan masa depan di ruang lingkup bandara dengan praktis. Mengingat rencananya banyak profesi di ruang lingkup bandara yang berasal dari Angkasa Pura. Angkasa Pura yang mengambil sebagian besar tugas menjalankan fungsi bandara. Pemuda diluar itu harus pintar-pintar membaca peluang. Baik peluang usaha, pariwisata, atau bisnis jasa lainnya yang berkaitan dengan pengoprasian bandara tersebut. Kalau sampai pemuda mampu melakukannya maka perekonomian di Kulon Progo akan berhasil dan akan jauh lebih baik dari sekarang.
Jangan resah soal pembangunan bandara, yang patut diresahkan adalah pembangunan tol. Kalau pembangunan bandara dinilai akan menelan banyak korban relokasi dan akan mematikan sistem agrarian, maka itu dinilai tidak seberapa jika dibandingkan dengan pembangunan tol yang juga sempat rencananya akan dibuat di Kulon Progo. Pembangunan tol ini justru akan memakan banyak wilayah warga yang terelokasi. Mengingat luas dan panjangnya lahan yang akan dipakai. Tak hanya perumahan tapi persawahan akan terkena imbas pembangunan jalan tol sedangkan pembangunan bandara hanya sedikit wilayahnya dan tidak menganggu sistem agraria. Selain itu sistem retribusi yang wajib diterapkan di akses jalan tol juga menjadi petimbangan. 

Sistem Agraria dan Nasib Nelayan 

            Bandara tidak akan merenggut sistem agraria. Bandara tidak akan mengganggu produksi padi di Kulon Progo. Sawah masih tetap berfungsi dengan baik. Tidak ada sawah yang tergusur. Petani padi tidak banyak dijumpai di kawasan relokasi bandara. hanya berupa tanaman-tanaman musiman seperti semangka, melon, dan cabai yang tumbuh disekitar kawasan relokasi bandara. Tambak udang masih aman dan nelayan masih bisa mendapatkan akses untuk mencari ikan.
            Menurut Bambang Istiyanta, justru sistem agrarian khususnya penanaman padi akan dikembangkan di wilayah Kulon Progo daerah Nanggulan dan Girimulya dimana letaknya di pegunungan hijau dan jauh dari relokasi bandara. Kulon Progo masih luas. Menurutnya, seharusnya agrarian digalakan di kawasan-kawasan pegunungan tersebut dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada. Sebagai seseorang yang sering andil dalam perencanaan pembangunan, beliau menuturkan bahwa sudah dilakukan pembukaan lahan sawah di kawasan Nanggulan untuk ditanami padi, dan akan berencana untuk menggalakan pertanian lain di berbagai wilayah Kulon Progo khususnya pertanian buah-buahan seperti melon dan semangka dengan memanfaatkan teknologi pertanian terbarukan. Sehingga bisa mengganti produksi melon di kawasan relokasi bandara bila memang benar bandara akan mengganggu produksi buah-buahan tersebut.
            Mengapa perlu menggalakan pertanian di wilayah seperti Nanggulan dan Girimulyo, bagaimana dengan kawasan kota seperti Wates? Beliau menuturkan bahwa memang kini persawahan di Wates sudah semakin sedikit. Artinya telah banyak yang digusur. Bukan karena Bandara. Justru pembangunan kampus-kampus dan ruko-ruko lainnya. Contohnya perluasan kampus UNY Wates berdampak semakin sempitnya wilayah persawahan karena harus menggunakan lahan persawahan untuk membuat bangunan. Belum lagi UGM yang juga berencana membangun sekoah vodkasi di kawasan Terbah yang juga merenggut lahan persawahan. Beliau berpendapat bahwa memang benar nantinya Wates akan menjadi kota yang besar apabila pembangunan berjalan dengan baik. Perekonomian akan meningkat tajam apalagi dibarengi dengan adanya bandara baru. Untuk itu, sebisa mungkin sistem pertanian akan ditingkatkan di wilayah-wilayah seperti Nanggulan, Girimulyo, Kokap, dan sebagainya dimana jauh dari imbas pembangunan besar-besaran tersebut. 

Membuka Hati dan Wawasan Masyarakat Setempat 

            Tanpa sadar jagongan bersama Bambang Istiyanta dan warga kala itu sekaligus membuka cakrawala baru bagi warga yang turut serta dalam jagongan. Setidaknya ada dorongan kepada warga untuk bersama-sama menyongsong dan menyambut perubahan yang baru. Dengan persiapan yang matang maka segala perubahan akan menjadikan dampak positif yang besar. Warga tidak hanya tahu sebatas bayang-bayang kemajuan di masa depan, namun bisa memahami bahwa untuk kemajuan perlu tindakan yang besar dan itu dimulai dari sekarang.
            Tidak salah Bambang Istiyanta memilih Karangsari sebagai sasaran komunikasi politiknya. Sikap yang diberikan oleh Bambang Istiyanta dalam berkomunikasi dengan masyarakat secara langsung dan membuka wawasan masyarakat dilakukan dengan cara mengobrol bersama-sama atau disebut dengan jagingan seperti saat dimana saya mewawancai beliau. Mengingat sebagaian besar warga Karangsari masih jauh dari hingar bingar modernitas dan media massa, membuat metode pendekatan ini menjadi lebih efektif. Tidak banyak informasi yang dapat dipetik melalui media massa khususnya di desa yang masih terpencil dan minim jaringan internet.

Jagongan Sebagai Bagian dari Posisitioning
 
            Bambang Istiyanta menyadari akan perubahan peta pemikiran masyarakat tentang politik setiap saat. Kumpul bersama warga sering kali dianggap sebagai bagian dari kampanye politiknya agar mendapat kepercayaan saat kembali mengajukan dirinya sebagai anggota DPRD di periode selanjutnya. Warga sekarang juga telah memiliki kesadaran untuk menghentikan aksi money politic. Tapi apabila ia memang akan mengajukan dirinya sekali lagi di periode selanjutnya ia tetap akan memilih Karangsari sebagai segmentasi sasaran politiknya dan memposisikan dirinya semata-mata sebagai wakil dari Desa tersebut untuk menyalurkan aspirasi masyarakatnya. Dengan berkumpul bersama warga atau jagongan ini Bambang Istiyanta mengambil hati masyarakatnya. Kedekatannya kepada masyarakat menjadi alasan masyarakat memepercayainya. Apalagi jika selama ia menjabat sebagai anggota DPRD di periode ini telah banyak yang ia lakukan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan turut mengembangkan perekonomian dan infrastruktur masyarakat maka ia telah memberi bukti dengan langkahnya.
            Berbicara seputar komunikasi politik modern, Bambang Istiyanta mengaku tidak memberlakukan ini di ranah segmentasi sasaran politiknya di Desa Karangsari. Perkembangan komunikasi politik modern sekarang ini memang telah menggunakan berbagai media massa baik digital maupun konvensional. Namun beliau membaca bahwa sebagian besar masyarakat di Desa Karangsari terbiasa dengan pendekatan secara langsung dan memasyarakat. Karena masyarakat di Karangsari menginginkan bukti nyata dari hasil kerja seorang anggota DPRD dan bukan persoalan visi dan misi. Apapun yang dikerjakan oleh anggota DPRD adalah murni tugas dan tanggung jawab sebagai wakil masyarakatnya.
           



Read More
    email this       edit