Senin, 17 Desember 2018

Published Desember 17, 2018 by with 0 comment

Joko Dolok


Joko Dolok


Kala itu di desa Truno, kala traktor-traktor besar Belanda terus menerus menggerus tanah-tanah dan menggali dalam batu-batu mangaan di desa Truno, Tuminem seorang pekerja wanita yang hamil besar bersimpuh mengerang. Sambil membuang pukulnya, Tuminem memegang perut besarnya. Kala itu Belanda tak lama kemudian berteriak “Laut (Lay out) laut (Lay Out)…” tanda waktu bekerja telah berakhir. Tuminem yang hamil besar kontraksi hebat tepat saat waktu bekerja berakhir yang mungkin jika dulu ada jam, maka kurang lebih menunjukan waktu sore sekitar pukul empat.

“Hyunggggg… tulungono aku… loro tenan. Aku ra kuat”. Tuminem banjir peluh dan air mata tak kuasa menahan rasa sakit yang dirasakannya. Setelah kelelahan memukul batu-batu mangaan hasil tambang sepanjang hari, Tuminem lantas merasakan kontraksi hebat di perut besarnya. Pekerja lain yang kala itu turut bekerja lantas menghampiri Tuminem yang sudah tumbang dengan ketuban mengalir deras di sela-sela pahanya dan mengenai jarik yang di pakainya.

“Tumini arep bayen… Tumini arep bayen…” Teriak Yati yang melihat rubuhnya tubuh Tuminem.  Teriakan Yati didengar oleh pekerja lain yang tak lama kemudian berhamburan mendekap tubuh Tuminem yang tak berdaya.

“Wes mbuka, wes mbuka. Gek dundangke Mbah Dukuh wae. Gek ndang gowo bali nang omahe” Teriak Waginem. Waginem sempat menyibak jarik Tuminem dan melihat jalan lahir Tuminem. Waginem lantas menyuruh warga lainnya untuk membawa Tuminem yang lemah ke rumahnya yang berada di Gunung Telo, sebuah bukit tinggi sekitar 2 kilo meter dari Penbo tempat mereka bekerja itu. Sementara Waginem berlari ke desa Dukuh desa sebrang untuk memanggil mbah dukuh. Sebutan untuk dukun sidhat atau dukun melahirkan kala itu. Tuminem di bopong Parman dan Yati mengikutinya dari belakang.

Tuminem lemah bersimbah peluh kini berada di senthong, sebuah bilik di dalam rumahnya dan terbaring di atas dipan yang beralaskan galar. Parman dan Yati yang kala itu mengantar Tuminem pulang segera menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan untuk keperluan sidhat. Pintu senthong yang tadinya tertutup dibuka lebar bahkan oleh Parman dijebolnya pintu itu. Sengaja tanda akan terjadi kehebohan yang besar saat Tuminem melahirkan. Agar banyak orang yang datang bisa leluasa melihat kondisi Tuminem dengan leluasa.  

“Man… saiki genenono wedang. Aku tak gelari jarik” himbau Yati pada Parman. Yati menyuruh Parman untuk segera menyiapkan air hangat. Parman dengan cekatan mengambil air dari sumur belakang rumah Tuminem dan menyiapkan perapian untuk menghangatkan air. Sementara suara teriakan Tuminem masih terdengar nyaring terdengar justru semakin membuat Parman melupakan kelelahannya usai bekerja dan semakin cekatan memanaskan air untuk membasuh Tuminem saat sidhat nanti.

“Ti… ra ono kayu cemepak. Kayune entek, garek blarak garing wae”. Parman menemukan masalah saat mulai menyiapkan perapian. Tak ada kayu kering yang tersisa di dekat luweng, nama perapian jaman dulu. Hanya tersisa blarak garing atau daun kelapa kering yang tentu tak cukup awet menjag api agar tetap menyala.

“Brongoten wae nggo blarak sek akeh mengko rak yon ndang umep”. Yati lantas menyuruh Parman segera membakar kendi-kendi berisi air sumur dengan blarak-blarak tadi. Sebuah cara tercepat jika tidak ada kayu bakar. Tanpa ragu parman mulai membakar kendi-kendi itu. Parman juga mengambil tumpukan damen atau jerami kering di kandang sapi milik Tuminem untuk membakar kendi-kendi. Asap membumbung tinggi kala api mulai menjalari blarak dan damen yang mengenai kendi-kendi air.

Hari mulai sore menjelang surup. Yati telah selesai menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan Tuminem untuk melahirkan di dalam senthong. Sentir atau lentera api telah dihidupkan di samping tempat tidur Tuminem untuk penerangan. Jarik-jarik lawas Tumen telah tersusun rapi di bawah tubuh Tuminem untuk tadah darah saat Tuminem bersimbah darah melahirkan nanti. Tinggal air yang belum juga panas yang belum disiapkan. Parman masih saja membakar blarak hingga asap-asap mengepul dan api mulai terlihat jelas sebab matahari mulai meredup. Diiringi teriakan-teriakan Tuminem yang tak kunjung berhenti yang entah sampai kapan berhenti.

Sementara itu, Waginem dan mbah dukuh sedang berjalan menuju rumah Tuminem. Perjalanan lumayan jauh dan melelahkan. Tak ada transportasi apapun yang membantu mereka datang lebih cepat ke rumah Tuminen. Sepanjang jalan menanjak mulai terdengar suara jangkrik dan gonggongan anjing hutan yang berasal dari hutan seberang. Berbekal blarak dan korek mereka berjaga-jaga untuk penerangan bila hingga malam tiba mereka belum sampai di rumah Tuminem. Pelan-pelan mereka berjalan lalu terlihatlah dari kejauhan sebuah rumah kayu berpeluk.

“Kae mbah dukuh, omahe si Tuminen.  Sek ono peluk e kae.” Waginem menunjukan kepada Mbah Dukuh sebuah rumah kayu joglo dengan peluk membumbung tinggi dibelakangnya dan percikan-percikan api yang terlihat. Peluk yang berasal dari perapian Parman saat itu.

“Monggo Mbah, Tuminem sajak pun mboten kuat maleh” Waginem lantas segera membawa Mbah Dukuh ke rumah Tuminem dan mempercepat langkah mereka.

“Wes mbukak piro mau?” Mbah Dukuh bertanya mengenai jalan lahir yang sudah Waginem lihat dari Tuminem untuk memperkirakan kapan akan lahir bayinya.

“Aku mau ndelokke agek mbukak siji Mbah” Jawab Waginem dengan raut muka khawatir. Waginem tahu bahwa masih ada proses panjang dan menyakitkan yang akan Tuminem rasakan saat menanti bayinya lahir.

“Mugo-mugo cepet tambah buka ane. Kurang luweh si jabang bayi bakal lahir mengko tengah wengi. Mangkakno mengko tengah wengi kui wayahe sang candragrahana kedadean. Bakal ono Bathara Narada lan tekane si Joko Dolok. Ojo lali golek o lumpang sek gedhe lan kumpulno kabeh wong wadon-wadon kene. Undangno sek lanang-lanang kon ngewangi lek-lekan”. Kekawatiran di raut muka Mbah Dukuh tak bisa disembunyikan meskipun surup-surup cahaya matahari telah sirna. Mbah Dukuh yang terkenal sebagai dukun bayi yang tak diragukan kembali kemampuannya seantero Truno mewanti-wanti Waginem agar mengumpulkan para perempuan untuk membunyikan lesung dan para laki-laki untuk ngendong saat bayi Tuminem lahir tengah malam nanti saat gerhana bulan datang. Pembukaan jalan lahir Tuminem yang masih sedikit membuat Mbah Dukuh ragu akan lahirnya si jabang bayi secepat mungkin. Kemungkinan baru akan terdengar tangisan bayi saat tengah malam nanti saat sang Bathara Narada menelan perlahan sang candra dan saat sang Joko Dolok mulai mengincar bayi di tengah sunyinya malam.

“Oalah biyung… tulungono. Nasibmu kok koyo ngene Tum. Mangkakno wes ditinggal bojomu minggat”. Keluh Waginem yang iba melihat nasib Tuminem yang merupakan seorang janda yang ditinggal pergi sang suami tepat 4 bulan setelah menikah atau ketika kandungan Tuminem diusia ke 3 bulan. Sang suami pergi akibat sihir pelet Suryani yang cinta buta dengan suami Tuminem. Ketika Tuminem sedang alami ngidam hebat disitulah Paryono sang suami jatuh cinta dengan kemolekan tubuh Suryani. Sungguh nasib yang menguji iman Tuminem.

            Waginem dan Mbah Dukuh sampai ke rumah Tuminem. Terikan Tuminem terdengar masih nyaring. Bergegas Yati menyambut mereka dan mengarahkan mereka ke dalam senthong dan memperlihatkan kondisi Tuminem yang sudah pucat pasi. Mbah dukuh perlahan membantu Tuminem menata nafas dan melakukan pekerjaannya.

            Sementara itu Waginem yang teringat wejangan Mbah Dukuh segera mengajak Parman untuk mengkondisikan keadaan. Sedang Yati masih dengan setia menemani Tuminem dan Mbah Dukuh berjuang antara hidup dan mati.

“Man… mengko wengi ono candragrahana. Gek golekno aku lumpang karo golekno uwong-uwong kon ngendong rene. Ojo nganti kendat tetabuhane. Mergo adewe ora ngerti bakal ono opo ne kora ono tetabuhan ro benek e uwong nang kene”.   Waginem lantas menyuruh Parman pergi mencari lumpang, sebuah penutu padi yang dapat dibunyikan dengan beriirama. Sedang Waginem memilih turun bukit dengan berbekal obor dari blarak dan mencari ibu-ibu desa untuk membunyikan gejog lesung saat bayi lahir nanti.

“Yu… Siji-sijine kang due lumpang gejog lesung namung Toh Suro to Yu. Aku yo ora wani nek kon nggolek lumpang e kui dewe. Aku kudu nggawa bekal opo dinggo njilih lumpang e Toh Suro” Ujar ragu Parman saat Waginem menyuruhnya meminjam lumpang gejog lesung pada Toh Suro. Hal ini menyulitkan Parman yang tak mampu berhadapan dengan Toh Suro sang penguasa gaib desa Truno. Pemilik lumpang gejog lesung yang tersimpan rapat di sebuah gubuk di puncak bukit Toh Suro.

Lumpang yang sering berbunyi secara gaib di malam satu sura yang kemungkinan Toh Suro lah yang memainkannya. Lumpang ini akan di pinjam warga dengan syarat yang banyak untuk meminjamnya saat malam gerhana untuk tetabuhan mengusir Bathara Narada yang akan menelan bulan. Namun karena bayi Tuminem lahir tepat di saat candragrahana datang, maka gejog lesung itu harus di bunyikan malam itu juga demi menjaga jabang bayi dari jahatnya Joko Dolok si penculik bayi dan Bathara Narada yang entah akan berbuat apa jika tak ada tetabuhan sesuai wejangan Mbah Dukuh.

“Wes pokok e golekno lumpang kui. Goleko wong lanang-lanang liyane kanggo ngrewangi koe leh mu nembung ro Toh Suro. Aku tak golek wong wadon-wadon”. Waginem tak menggubris dengan kepanikannya ia tak mungkin bisa berpikir jernih. Ia menyalakan obor blaraknya lalu turun bukit untuk mengabari para ibu-ibu desa agar segara merapa ke rumah Tuminem. Sementara Parman nekat pergi naik ke bukit ke Toh Suro. Berniat mengambil lumpang tanpa melalui berbagai syarat. Demi amannya sang jabang bayi nanti.

Oeeeee oeeeee terdengar tangisan bayi lahir dari Rahim sang Ibu. Tangisan bayi laki-laki yang menggelegar disambut belasan para ibu-ibu desa yang telah bersiap menabuh gejog lesung. Sementara itu bulan sudah hampir setengah hilang. Keringat membanjiri Mbah Dukuh yang sedari tadi resah akan keadaan. Semantara itu, lesung yang akan dicarikan Parman tak kunjung ada. Parman belum kembali ke rumah Tuminem. Padahal sudah tepat tengah malam dengan longongan srigala yang mulai menggila di malam itu. Waginem resah tak beraturan. Mondar-mandir sambil mencari apapun benda yang bisa dibunyikan sebagai pengganti lesung untuk dibunyikan.

Sementara Tuminem memejamkan matanya. Lemas tak berdaya sambil darahnya di lap oleh Mbah Dukuh. Sedang Yati yang tanggap segera membersihkan darah di seluruh tubuh bayi laki-laki lalu mengambil jarik bayi dan menggedongnya atau membalutkan jarik itu ke sekujur tubuh bayi agar tidak kedinginan.

            Waginem masih bingung. Ibu-ibu lain juga turut merasakan keresahan di balik kebahagiaan lahirnya sang jabang bayi. Belum ada bunyi-bunyian yang dapat bunyikan. Sementara bulan kian tertutup dan malam mulai larut dan sunyi. Angin semilir membangkitkan bulu kuduk tanda kehadiran Joko Dolok mulai terasa. Sedangkan kaum laki-laki tak ada satupun di rumah Tuminem melainkan menyusul Parman ke bukit Toh Suro yang tak kunjung selesai mengambil lesung Toh Suro.

            Aungan srigala mulai terdengar ramai. Anjing-anjung hutan mulai menggonggong. Diiringi tangisan jabang bayi yang juga melengking. Tuminem tersadar dan membuka matanya. Sementara yati meletakan bayi Tuminem di samping tubuh Tuminem dan bergegas mengambil kendil wadah ari-ari atau plasenta bayi Tuminem. Tuminem mengelus kepala sang bayi sambil berucap, “Kelik Candragrahana” sebuah nama yang terbesit di benak Tuminem untuk menamai sang jabang bayi. Mbah dukuh yang mendengar ucapan Tuminem tersenyum. Nama yang indah untuk seorang bayi laki-laki yang lahir di saat gerhana bulan. Kelik artinya adalah anak laki-laki, secangkan candragrahana adalah gerhana bulan. Diciumlah kening sang bayi. Meski tangan tak mampu mendekap karena letih tak terkira.

            Mbah Dukuh yang kala itu berada di samping Tuminem bergegas menyusul Yati untuk mengubur ari-ari dan membuat penerangan di belakang rumah Tuminem. Sementara Waginem masih berada di luar Bersama ibu-ibu sambil ceceluk atau bebeluk sambil mengucapkan kalimat-kalimat untuk sang Joko Dolok yang mulai hadir rasa-rasanya dan Bathara Narada untuk berhenti menelan sang bulan. “Ealah ealah Joko Dolok. Iki bayiku dudu bayimu.” Terus berulang ulang sambil menabuh kentongan yang waginem dapat dari samping rumah Tuminem. Lesung yang harusnya dibunyikan tak kunjung datang. Bahkan Waginem sempat berpikir buruk pada Parman yang mengabaikan perintahnya. Gejog lesung adalah bukti usaha warga yang turut melawan ganasnya dan liciknya Joko Dolok untuk merebut sang bayi dari ibunya. Sebuah usaha untuk kalahkan Joko Dolok agar tak dapat masuk ke pekarangan rumah Tuminem dan mengicar bayi Tuminem.

Ibu-ibu desa terus menerus menyebutkan kalimat itu hingga tak terhitung jumlahnya. Sambil kentongan terus dibunyikan. Namun rasa-rasa resah dan mencekam tak kunjung hilang bahkan semakin terasa. Seolah angin berlari kearah rumah Tuminem dengan dahsyatnya. Srigala menggonggong seolah turut mendekati rumah Tuminem mengantar sang Joko Dolok menyusup ke rumah Tuminem.

Hingga tak disangka-sangka sesuatu yang buruk akhirnya terjadi. Tuminem kejang dan Kelik menghilang. Joko Dolok menang akibat lesung tak kunjung datang. Si Parman tak kunjung datang karena turut menghilang dibawa Toh Suro akibat lesung yang curi. Kabar hilangnya Parman datang dari para kaum laki-laki yang membawa oncor datang ke rumah Tuminem sembari memberi kabar hilangnya jejak si Parman seiring hilangnya Kelik.

Kelik sang jabang bayi lahir saat gerhana bulan. Tak diendong dan tak di gejog lesung. Kini sirnalah Kelik diambil Joko Dolok dari pelukan sang Ibu. Ikhlas dan rela sang Ibu kembali nelangsa. Joko Dolok memang pintar angon limpene uwong. Disaat tubuh Tuminem tak berdaya, disaat Mbah Dukuh dan Yati pergi. Disitulah Kelik diculik sang Joko Dolok.

Konon jika bayi lahir maka wajib untuk sebagian warga mengendong. Jika tidak maka sirnalah bayi itu dari dekapan sang Ibu dengan misterius tanpa dapat dipikir dengan akal sehat. Warga menyebut Joko Dolok, sejenis mahkluk gaib yang akan mengambil sang bayi secara misterius tanpa terduga dan mengambil angon limpene uwong atau mengambil kesempatan dalam kesempitan.  Maka selalu ketika seorang bayi lahir dan mulai menangis saat untuk pertama kali menyentuh udara dunia, rombongan ibu-ibu desa terburu-buru menyiapkan lumpangnya dan memulai gejog lesung. Membuat bunyi-bunyian untuk menghalau sepi, mencegah sang Joko Dolok datang mencandai sang bayi dan merebutnya dari sang Ibu. Gejog lesung diperdengarkan juga sebagai tanda bahwa lahirlah seorang bayi. Agar semua warga tahu dan dapat me-ngendong bayi itu setiap malam. Me-ngendong artinya menjaga sang bayi setiap malam tanpa tertidur hingga larut malam menjelang pagi agar sang bayi mempunyai “batir” atau teman di kala malam dan menjaganya dari ganasnya Joko Dolok yang sewaktu-waktu mengincar sang bayi di angon limpene atau mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika sang bayi ditinggal tidur sang penjaga.



           









Joko Dolok



Kala itu di desa Truno, kala traktor-traktor besar Belanda terus menerus menggerus tanah-tanah dan menggali dalam batu-batu mangaan di desa Truno, Tuminem seorang pekerja wanita yang hamil besar bersimpuh mengerang. Sambil membuang pukulnya, Tuminem memegang perut besarnya. Kala itu Belanda tak lama kemudian berteriak “Laut (Lay out) laut (Lay Out)…” tanda waktu bekerja telah berakhir. Tuminem yang hamil besar kontraksi hebat tepat saat waktu bekerja berakhir yang mungkin jika dulu ada jam, maka kurang lebih menunjukan waktu sore sekitar pukul empat.

“Hyunggggg… tulungono aku… loro tenan. Aku ra kuat”. Tuminem banjir peluh dan air mata tak kuasa menahan rasa sakit yang dirasakannya. Setelah kelelahan memukul batu-batu mangaan hasil tambang sepanjang hari, Tuminem lantas merasakan kontraksi hebat di perut besarnya. Pekerja lain yang kala itu turut bekerja lantas menghampiri Tuminem yang sudah tumbang dengan ketuban mengalir deras di sela-sela pahanya dan mengenai jarik yang di pakainya.

“Tumini arep bayen… Tumini arep bayen…” Teriak Yati yang melihat rubuhnya tubuh Tuminem.  Teriakan Yati didengar oleh pekerja lain yang tak lama kemudian berhamburan mendekap tubuh Tuminem yang tak berdaya.

“Wes mbuka, wes mbuka. Gek dundangke Mbah Dukuh wae. Gek ndang gowo bali nang omahe” Teriak Waginem. Waginem sempat menyibak jarik Tuminem dan melihat jalan lahir Tuminem. Waginem lantas menyuruh warga lainnya untuk membawa Tuminem yang lemah ke rumahnya yang berada di Gunung Telo, sebuah bukit tinggi sekitar 2 kilo meter dari Penbo tempat mereka bekerja itu. Sementara Waginem berlari ke desa Dukuh desa sebrang untuk memanggil mbah dukuh. Sebutan untuk dukun sidhat atau dukun melahirkan kala itu. Tuminem di bopong Parman dan Yati mengikutinya dari belakang.

Tuminem lemah bersimbah peluh kini berada di senthong, sebuah bilik di dalam rumahnya dan terbaring di atas dipan yang beralaskan galar. Parman dan Yati yang kala itu mengantar Tuminem pulang segera menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan untuk keperluan sidhat. Pintu senthong yang tadinya tertutup dibuka lebar bahkan oleh Parman dijebolnya pintu itu. Sengaja tanda akan terjadi kehebohan yang besar saat Tuminem melahirkan. Agar banyak orang yang datang bisa leluasa melihat kondisi Tuminem dengan leluasa.  

“Man… saiki genenono wedang. Aku tak gelari jarik” himbau Yati pada Parman. Yati menyuruh Parman untuk segera menyiapkan air hangat. Parman dengan cekatan mengambil air dari sumur belakang rumah Tuminem dan menyiapkan perapian untuk menghangatkan air. Sementara suara teriakan Tuminem masih terdengar nyaring terdengar justru semakin membuat Parman melupakan kelelahannya usai bekerja dan semakin cekatan memanaskan air untuk membasuh Tuminem saat sidhat nanti.

“Ti… ra ono kayu cemepak. Kayune entek, garek blarak garing wae”. Parman menemukan masalah saat mulai menyiapkan perapian. Tak ada kayu kering yang tersisa di dekat luweng, nama perapian jaman dulu. Hanya tersisa blarak garing atau daun kelapa kering yang tentu tak cukup awet menjag api agar tetap menyala.

“Brongoten wae nggo blarak sek akeh mengko rak yon ndang umep”. Yati lantas menyuruh Parman segera membakar kendi-kendi berisi air sumur dengan blarak-blarak tadi. Sebuah cara tercepat jika tidak ada kayu bakar. Tanpa ragu parman mulai membakar kendi-kendi itu. Parman juga mengambil tumpukan damen atau jerami kering di kandang sapi milik Tuminem untuk membakar kendi-kendi. Asap membumbung tinggi kala api mulai menjalari blarak dan damen yang mengenai kendi-kendi air.

Hari mulai sore menjelang surup. Yati telah selesai menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan Tuminem untuk melahirkan di dalam senthong. Sentir atau lentera api telah dihidupkan di samping tempat tidur Tuminem untuk penerangan. Jarik-jarik lawas Tumen telah tersusun rapi di bawah tubuh Tuminem untuk tadah darah saat Tuminem bersimbah darah melahirkan nanti. Tinggal air yang belum juga panas yang belum disiapkan. Parman masih saja membakar blarak hingga asap-asap mengepul dan api mulai terlihat jelas sebab matahari mulai meredup. Diiringi teriakan-teriakan Tuminem yang tak kunjung berhenti yang entah sampai kapan berhenti.

Sementara itu, Waginem dan mbah dukuh sedang berjalan menuju rumah Tuminem. Perjalanan lumayan jauh dan melelahkan. Tak ada transportasi apapun yang membantu mereka datang lebih cepat ke rumah Tuminen. Sepanjang jalan menanjak mulai terdengar suara jangkrik dan gonggongan anjing hutan yang berasal dari hutan seberang. Berbekal blarak dan korek mereka berjaga-jaga untuk penerangan bila hingga malam tiba mereka belum sampai di rumah Tuminem. Pelan-pelan mereka berjalan lalu terlihatlah dari kejauhan sebuah rumah kayu berpeluk.

“Kae mbah dukuh, omahe si Tuminen.  Sek ono peluk e kae.” Waginem menunjukan kepada Mbah Dukuh sebuah rumah kayu joglo dengan peluk membumbung tinggi dibelakangnya dan percikan-percikan api yang terlihat. Peluk yang berasal dari perapian Parman saat itu.

“Monggo Mbah, Tuminem sajak pun mboten kuat maleh” Waginem lantas segera membawa Mbah Dukuh ke rumah Tuminem dan mempercepat langkah mereka.

“Wes mbukak piro mau?” Mbah Dukuh bertanya mengenai jalan lahir yang sudah Waginem lihat dari Tuminem untuk memperkirakan kapan akan lahir bayinya.

“Aku mau ndelokke agek mbukak siji Mbah” Jawab Waginem dengan raut muka khawatir. Waginem tahu bahwa masih ada proses panjang dan menyakitkan yang akan Tuminem rasakan saat menanti bayinya lahir.

“Mugo-mugo cepet tambah buka ane. Kurang luweh si jabang bayi bakal lahir mengko tengah wengi. Mangkakno mengko tengah wengi kui wayahe sang candragrahana kedadean. Bakal ono Bathara Narada lan tekane si Joko Dolok. Ojo lali golek o lumpang sek gedhe lan kumpulno kabeh wong wadon-wadon kene. Undangno sek lanang-lanang kon ngewangi lek-lekan”. Kekawatiran di raut muka Mbah Dukuh tak bisa disembunyikan meskipun surup-surup cahaya matahari telah sirna. Mbah Dukuh yang terkenal sebagai dukun bayi yang tak diragukan kembali kemampuannya seantero Truno mewanti-wanti Waginem agar mengumpulkan para perempuan untuk membunyikan lesung dan para laki-laki untuk ngendong saat bayi Tuminem lahir tengah malam nanti saat gerhana bulan datang. Pembukaan jalan lahir Tuminem yang masih sedikit membuat Mbah Dukuh ragu akan lahirnya si jabang bayi secepat mungkin. Kemungkinan baru akan terdengar tangisan bayi saat tengah malam nanti saat sang Bathara Narada menelan perlahan sang candra dan saat sang Joko Dolok mulai mengincar bayi di tengah sunyinya malam.

“Oalah biyung… tulungono. Nasibmu kok koyo ngene Tum. Mangkakno wes ditinggal bojomu minggat”. Keluh Waginem yang iba melihat nasib Tuminem yang merupakan seorang janda yang ditinggal pergi sang suami tepat 4 bulan setelah menikah atau ketika kandungan Tuminem diusia ke 3 bulan. Sang suami pergi akibat sihir pelet Suryani yang cinta buta dengan suami Tuminem. Ketika Tuminem sedang alami ngidam hebat disitulah Paryono sang suami jatuh cinta dengan kemolekan tubuh Suryani. Sungguh nasib yang menguji iman Tuminem.

            Waginem dan Mbah Dukuh sampai ke rumah Tuminem. Terikan Tuminem terdengar masih nyaring. Bergegas Yati menyambut mereka dan mengarahkan mereka ke dalam senthong dan memperlihatkan kondisi Tuminem yang sudah pucat pasi. Mbah dukuh perlahan membantu Tuminem menata nafas dan melakukan pekerjaannya.

            Sementara itu Waginem yang teringat wejangan Mbah Dukuh segera mengajak Parman untuk mengkondisikan keadaan. Sedang Yati masih dengan setia menemani Tuminem dan Mbah Dukuh berjuang antara hidup dan mati.

“Man… mengko wengi ono candragrahana. Gek golekno aku lumpang karo golekno uwong-uwong kon ngendong rene. Ojo nganti kendat tetabuhane. Mergo adewe ora ngerti bakal ono opo ne kora ono tetabuhan ro benek e uwong nang kene”.   Waginem lantas menyuruh Parman pergi mencari lumpang, sebuah penutu padi yang dapat dibunyikan dengan beriirama. Sedang Waginem memilih turun bukit dengan berbekal obor dari blarak dan mencari ibu-ibu desa untuk membunyikan gejog lesung saat bayi lahir nanti.

“Yu… Siji-sijine kang due lumpang gejog lesung namung Toh Suro to Yu. Aku yo ora wani nek kon nggolek lumpang e kui dewe. Aku kudu nggawa bekal opo dinggo njilih lumpang e Toh Suro” Ujar ragu Parman saat Waginem menyuruhnya meminjam lumpang gejog lesung pada Toh Suro. Hal ini menyulitkan Parman yang tak mampu berhadapan dengan Toh Suro sang penguasa gaib desa Truno. Pemilik lumpang gejog lesung yang tersimpan rapat di sebuah gubuk di puncak bukit Toh Suro.

Lumpang yang sering berbunyi secara gaib di malam satu sura yang kemungkinan Toh Suro lah yang memainkannya. Lumpang ini akan di pinjam warga dengan syarat yang banyak untuk meminjamnya saat malam gerhana untuk tetabuhan mengusir Bathara Narada yang akan menelan bulan. Namun karena bayi Tuminem lahir tepat di saat candragrahana datang, maka gejog lesung itu harus di bunyikan malam itu juga demi menjaga jabang bayi dari jahatnya Joko Dolok si penculik bayi dan Bathara Narada yang entah akan berbuat apa jika tak ada tetabuhan sesuai wejangan Mbah Dukuh.

“Wes pokok e golekno lumpang kui. Goleko wong lanang-lanang liyane kanggo ngrewangi koe leh mu nembung ro Toh Suro. Aku tak golek wong wadon-wadon”. Waginem tak menggubris dengan kepanikannya ia tak mungkin bisa berpikir jernih. Ia menyalakan obor blaraknya lalu turun bukit untuk mengabari para ibu-ibu desa agar segara merapa ke rumah Tuminem. Sementara Parman nekat pergi naik ke bukit ke Toh Suro. Berniat mengambil lumpang tanpa melalui berbagai syarat. Demi amannya sang jabang bayi nanti.

Oeeeee oeeeee terdengar tangisan bayi lahir dari Rahim sang Ibu. Tangisan bayi laki-laki yang menggelegar disambut belasan para ibu-ibu desa yang telah bersiap menabuh gejog lesung. Sementara itu bulan sudah hampir setengah hilang. Keringat membanjiri Mbah Dukuh yang sedari tadi resah akan keadaan. Semantara itu, lesung yang akan dicarikan Parman tak kunjung ada. Parman belum kembali ke rumah Tuminem. Padahal sudah tepat tengah malam dengan longongan srigala yang mulai menggila di malam itu. Waginem resah tak beraturan. Mondar-mandir sambil mencari apapun benda yang bisa dibunyikan sebagai pengganti lesung untuk dibunyikan.

Sementara Tuminem memejamkan matanya. Lemas tak berdaya sambil darahnya di lap oleh Mbah Dukuh. Sedang Yati yang tanggap segera membersihkan darah di seluruh tubuh bayi laki-laki lalu mengambil jarik bayi dan menggedongnya atau membalutkan jarik itu ke sekujur tubuh bayi agar tidak kedinginan.

            Waginem masih bingung. Ibu-ibu lain juga turut merasakan keresahan di balik kebahagiaan lahirnya sang jabang bayi. Belum ada bunyi-bunyian yang dapat bunyikan. Sementara bulan kian tertutup dan malam mulai larut dan sunyi. Angin semilir membangkitkan bulu kuduk tanda kehadiran Joko Dolok mulai terasa. Sedangkan kaum laki-laki tak ada satupun di rumah Tuminem melainkan menyusul Parman ke bukit Toh Suro yang tak kunjung selesai mengambil lesung Toh Suro.

            Aungan srigala mulai terdengar ramai. Anjing-anjung hutan mulai menggonggong. Diiringi tangisan jabang bayi yang juga melengking. Tuminem tersadar dan membuka matanya. Sementara yati meletakan bayi Tuminem di samping tubuh Tuminem dan bergegas mengambil kendil wadah ari-ari atau plasenta bayi Tuminem. Tuminem mengelus kepala sang bayi sambil berucap, “Kelik Candragrahana” sebuah nama yang terbesit di benak Tuminem untuk menamai sang jabang bayi. Mbah dukuh yang mendengar ucapan Tuminem tersenyum. Nama yang indah untuk seorang bayi laki-laki yang lahir di saat gerhana bulan. Kelik artinya adalah anak laki-laki, secangkan candragrahana adalah gerhana bulan. Diciumlah kening sang bayi. Meski tangan tak mampu mendekap karena letih tak terkira.

            Mbah Dukuh yang kala itu berada di samping Tuminem bergegas menyusul Yati untuk mengubur ari-ari dan membuat penerangan di belakang rumah Tuminem. Sementara Waginem masih berada di luar Bersama ibu-ibu sambil ceceluk atau bebeluk sambil mengucapkan kalimat-kalimat untuk sang Joko Dolok yang mulai hadir rasa-rasanya dan Bathara Narada untuk berhenti menelan sang bulan. “Ealah ealah Joko Dolok. Iki bayiku dudu bayimu.” Terus berulang ulang sambil menabuh kentongan yang waginem dapat dari samping rumah Tuminem. Lesung yang harusnya dibunyikan tak kunjung datang. Bahkan Waginem sempat berpikir buruk pada Parman yang mengabaikan perintahnya. Gejog lesung adalah bukti usaha warga yang turut melawan ganasnya dan liciknya Joko Dolok untuk merebut sang bayi dari ibunya. Sebuah usaha untuk kalahkan Joko Dolok agar tak dapat masuk ke pekarangan rumah Tuminem dan mengicar bayi Tuminem.

Ibu-ibu desa terus menerus menyebutkan kalimat itu hingga tak terhitung jumlahnya. Sambil kentongan terus dibunyikan. Namun rasa-rasa resah dan mencekam tak kunjung hilang bahkan semakin terasa. Seolah angin berlari kearah rumah Tuminem dengan dahsyatnya. Srigala menggonggong seolah turut mendekati rumah Tuminem mengantar sang Joko Dolok menyusup ke rumah Tuminem.

Hingga tak disangka-sangka sesuatu yang buruk akhirnya terjadi. Tuminem kejang dan Kelik menghilang. Joko Dolok menang akibat lesung tak kunjung datang. Si Parman tak kunjung datang karena turut menghilang dibawa Toh Suro akibat lesung yang curi. Kabar hilangnya Parman datang dari para kaum laki-laki yang membawa oncor datang ke rumah Tuminem sembari memberi kabar hilangnya jejak si Parman seiring hilangnya Kelik.

Kelik sang jabang bayi lahir saat gerhana bulan. Tak diendong dan tak di gejog lesung. Kini sirnalah Kelik diambil Joko Dolok dari pelukan sang Ibu. Ikhlas dan rela sang Ibu kembali nelangsa. Joko Dolok memang pintar angon limpene uwong. Disaat tubuh Tuminem tak berdaya, disaat Mbah Dukuh dan Yati pergi. Disitulah Kelik diculik sang Joko Dolok.

Konon jika bayi lahir maka wajib untuk sebagian warga mengendong. Jika tidak maka sirnalah bayi itu dari dekapan sang Ibu dengan misterius tanpa dapat dipikir dengan akal sehat. Warga menyebut Joko Dolok, sejenis mahkluk gaib yang akan mengambil sang bayi secara misterius tanpa terduga dan mengambil angon limpene uwong atau mengambil kesempatan dalam kesempitan.  Maka selalu ketika seorang bayi lahir dan mulai menangis saat untuk pertama kali menyentuh udara dunia, rombongan ibu-ibu desa terburu-buru menyiapkan lumpangnya dan memulai gejog lesung. Membuat bunyi-bunyian untuk menghalau sepi, mencegah sang Joko Dolok datang mencandai sang bayi dan merebutnya dari sang Ibu. Gejog lesung diperdengarkan juga sebagai tanda bahwa lahirlah seorang bayi. Agar semua warga tahu dan dapat me-ngendong bayi itu setiap malam. Me-ngendong artinya menjaga sang bayi setiap malam tanpa tertidur hingga larut malam menjelang pagi agar sang bayi mempunyai “batir” atau teman di kala malam dan menjaganya dari ganasnya Joko Dolok yang sewaktu-waktu mengincar sang bayi di angon limpene atau mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika sang bayi ditinggal tidur sang penjaga.



           








    email this       edit

0 komentar:

Posting Komentar