Joko Dolok
Kala itu di desa Truno, kala traktor-traktor besar
Belanda terus menerus menggerus tanah-tanah dan menggali dalam batu-batu mangaan
di desa Truno, Tuminem seorang pekerja wanita yang hamil besar bersimpuh
mengerang. Sambil membuang pukulnya, Tuminem memegang perut besarnya. Kala itu
Belanda tak lama kemudian berteriak “Laut (Lay out) laut (Lay Out)…” tanda waktu
bekerja telah berakhir. Tuminem yang hamil besar kontraksi hebat tepat saat waktu
bekerja berakhir yang mungkin jika dulu ada jam, maka kurang lebih menunjukan
waktu sore sekitar pukul empat.
“Hyunggggg… tulungono aku… loro tenan. Aku ra kuat”.
Tuminem banjir peluh dan air mata tak kuasa menahan rasa sakit yang
dirasakannya. Setelah kelelahan memukul batu-batu mangaan hasil tambang sepanjang
hari, Tuminem lantas merasakan kontraksi hebat di perut besarnya. Pekerja lain
yang kala itu turut bekerja lantas menghampiri Tuminem yang sudah tumbang
dengan ketuban mengalir deras di sela-sela pahanya dan mengenai jarik yang di
pakainya.
“Tumini arep bayen… Tumini arep bayen…” Teriak Yati
yang melihat rubuhnya tubuh Tuminem. Teriakan
Yati didengar oleh pekerja lain yang tak lama kemudian berhamburan mendekap tubuh
Tuminem yang tak berdaya.
“Wes mbuka, wes mbuka. Gek dundangke Mbah Dukuh wae. Gek
ndang gowo bali nang omahe” Teriak Waginem. Waginem sempat menyibak jarik Tuminem
dan melihat jalan lahir Tuminem. Waginem lantas menyuruh warga lainnya untuk
membawa Tuminem yang lemah ke rumahnya yang berada di Gunung Telo, sebuah bukit
tinggi sekitar 2 kilo meter dari Penbo tempat mereka bekerja itu. Sementara Waginem
berlari ke desa Dukuh desa sebrang untuk memanggil mbah dukuh. Sebutan untuk
dukun sidhat atau dukun melahirkan kala
itu. Tuminem di bopong Parman dan Yati mengikutinya dari belakang.
Tuminem lemah bersimbah peluh kini berada di senthong, sebuah bilik di dalam rumahnya
dan terbaring di atas dipan yang beralaskan
galar. Parman dan Yati yang kala itu mengantar
Tuminem pulang segera menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan untuk keperluan sidhat. Pintu senthong yang tadinya
tertutup dibuka lebar bahkan oleh Parman dijebolnya pintu itu. Sengaja tanda
akan terjadi kehebohan yang besar saat Tuminem melahirkan. Agar banyak orang
yang datang bisa leluasa melihat kondisi Tuminem dengan leluasa.
“Man… saiki genenono
wedang. Aku tak gelari jarik”
himbau Yati pada Parman. Yati menyuruh Parman untuk segera menyiapkan air hangat.
Parman dengan cekatan mengambil air dari sumur belakang rumah Tuminem dan menyiapkan
perapian untuk menghangatkan air. Sementara suara teriakan Tuminem masih
terdengar nyaring terdengar justru semakin membuat Parman melupakan kelelahannya
usai bekerja dan semakin cekatan memanaskan air untuk membasuh Tuminem saat sidhat
nanti.
“Ti… ra ono kayu
cemepak. Kayune entek, garek blarak garing wae”. Parman menemukan masalah saat mulai menyiapkan
perapian. Tak ada kayu kering yang tersisa di dekat luweng, nama perapian jaman dulu. Hanya tersisa blarak garing atau daun kelapa kering
yang tentu tak cukup awet menjag api agar tetap menyala.
“Brongoten wae
nggo blarak sek akeh mengko rak yon ndang umep”. Yati lantas menyuruh Parman segera membakar kendi-kendi
berisi air sumur dengan blarak-blarak
tadi. Sebuah cara tercepat jika tidak ada kayu bakar. Tanpa ragu parman mulai
membakar kendi-kendi itu. Parman juga mengambil tumpukan damen atau jerami kering di kandang sapi milik Tuminem untuk
membakar kendi-kendi. Asap membumbung tinggi kala api mulai menjalari blarak dan damen yang mengenai kendi-kendi air.
Hari mulai sore menjelang surup. Yati telah selesai menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan
Tuminem untuk melahirkan di dalam senthong. Sentir atau lentera api telah dihidupkan
di samping tempat tidur Tuminem untuk penerangan. Jarik-jarik lawas Tumen telah
tersusun rapi di bawah tubuh Tuminem untuk tadah darah saat Tuminem bersimbah
darah melahirkan nanti. Tinggal air yang belum juga panas yang belum disiapkan.
Parman masih saja membakar blarak hingga asap-asap mengepul dan api mulai
terlihat jelas sebab matahari mulai meredup. Diiringi teriakan-teriakan Tuminem
yang tak kunjung berhenti yang entah sampai kapan berhenti.
Sementara itu, Waginem dan mbah dukuh sedang berjalan
menuju rumah Tuminem. Perjalanan lumayan jauh dan melelahkan. Tak ada
transportasi apapun yang membantu mereka datang lebih cepat ke rumah Tuminen. Sepanjang
jalan menanjak mulai terdengar suara jangkrik dan gonggongan anjing hutan yang
berasal dari hutan seberang. Berbekal blarak dan korek mereka berjaga-jaga
untuk penerangan bila hingga malam tiba mereka belum sampai di rumah Tuminem. Pelan-pelan
mereka berjalan lalu terlihatlah dari kejauhan sebuah rumah kayu berpeluk.
“Kae mbah dukuh, omahe si Tuminen. Sek ono peluk e kae.” Waginem menunjukan kepada Mbah Dukuh sebuah rumah
kayu joglo dengan peluk membumbung tinggi dibelakangnya dan percikan-percikan
api yang terlihat. Peluk yang berasal dari perapian Parman saat itu.
“Monggo Mbah, Tuminem sajak pun mboten
kuat maleh” Waginem lantas segera
membawa Mbah Dukuh ke rumah Tuminem dan mempercepat langkah mereka.
“Wes mbukak piro mau?” Mbah Dukuh bertanya mengenai jalan lahir yang sudah
Waginem lihat dari Tuminem untuk memperkirakan kapan akan lahir bayinya.
“Aku mau ndelokke agek mbukak siji Mbah”
Jawab Waginem dengan raut muka
khawatir. Waginem tahu bahwa masih ada proses panjang dan menyakitkan yang akan
Tuminem rasakan saat menanti bayinya lahir.
“Mugo-mugo cepet tambah buka ane. Kurang
luweh si jabang bayi bakal lahir mengko tengah wengi. Mangkakno mengko tengah
wengi kui wayahe sang candragrahana kedadean. Bakal ono Bathara Narada lan
tekane si Joko Dolok. Ojo lali golek o lumpang sek gedhe lan
kumpulno kabeh wong wadon-wadon kene. Undangno sek lanang-lanang kon ngewangi
lek-lekan”. Kekawatiran di raut muka Mbah Dukuh tak bisa disembunyikan
meskipun surup-surup cahaya matahari telah sirna. Mbah Dukuh yang terkenal
sebagai dukun bayi yang tak diragukan kembali kemampuannya seantero Truno mewanti-wanti
Waginem agar mengumpulkan para perempuan untuk membunyikan lesung dan para
laki-laki untuk ngendong saat bayi
Tuminem lahir tengah malam nanti saat gerhana bulan datang. Pembukaan jalan
lahir Tuminem yang masih sedikit membuat Mbah Dukuh ragu akan lahirnya si
jabang bayi secepat mungkin. Kemungkinan baru akan terdengar tangisan bayi saat
tengah malam nanti saat sang Bathara Narada menelan perlahan sang candra dan saat
sang Joko Dolok mulai mengincar bayi di tengah sunyinya malam.
“Oalah
biyung… tulungono. Nasibmu kok koyo ngene Tum. Mangkakno wes ditinggal bojomu
minggat”. Keluh Waginem yang iba melihat nasib Tuminem yang merupakan seorang
janda yang ditinggal pergi sang suami tepat 4 bulan setelah menikah atau ketika
kandungan Tuminem diusia ke 3 bulan. Sang suami pergi akibat sihir pelet
Suryani yang cinta buta dengan suami Tuminem. Ketika Tuminem sedang alami
ngidam hebat disitulah Paryono sang suami jatuh cinta dengan kemolekan tubuh
Suryani. Sungguh nasib yang menguji iman Tuminem.
Waginem dan Mbah Dukuh sampai ke
rumah Tuminem. Terikan Tuminem terdengar masih nyaring. Bergegas Yati menyambut
mereka dan mengarahkan mereka ke dalam senthong
dan memperlihatkan kondisi Tuminem yang sudah pucat pasi. Mbah dukuh
perlahan membantu Tuminem menata nafas dan melakukan pekerjaannya.
Sementara itu Waginem yang teringat
wejangan Mbah Dukuh segera mengajak Parman untuk mengkondisikan keadaan. Sedang
Yati masih dengan setia menemani Tuminem dan Mbah Dukuh berjuang antara hidup
dan mati.
“Man… mengko wengi ono
candragrahana. Gek golekno aku lumpang karo golekno uwong-uwong kon ngendong
rene. Ojo nganti kendat tetabuhane. Mergo adewe ora ngerti bakal ono opo ne
kora ono tetabuhan ro benek e uwong nang kene”. Waginem lantas menyuruh Parman pergi mencari
lumpang, sebuah penutu padi yang dapat dibunyikan dengan beriirama. Sedang Waginem
memilih turun bukit dengan berbekal obor dari blarak dan mencari ibu-ibu desa untuk membunyikan gejog lesung saat
bayi lahir nanti.
“Yu… Siji-sijine kang due lumpang gejog
lesung namung Toh Suro to Yu. Aku yo ora wani nek kon nggolek lumpang e kui
dewe. Aku kudu nggawa bekal opo dinggo njilih lumpang e Toh Suro” Ujar ragu Parman saat Waginem menyuruhnya meminjam lumpang
gejog lesung pada Toh Suro. Hal ini menyulitkan Parman yang tak mampu berhadapan
dengan Toh Suro sang penguasa gaib desa Truno. Pemilik lumpang gejog lesung
yang tersimpan rapat di sebuah gubuk di puncak bukit Toh Suro.
Lumpang yang sering berbunyi secara gaib di malam satu
sura yang kemungkinan Toh Suro lah yang memainkannya. Lumpang ini akan di
pinjam warga dengan syarat yang banyak untuk meminjamnya saat malam gerhana untuk
tetabuhan mengusir Bathara Narada yang akan menelan bulan. Namun karena bayi
Tuminem lahir tepat di saat candragrahana datang, maka gejog lesung itu harus
di bunyikan malam itu juga demi menjaga jabang bayi dari jahatnya Joko Dolok si
penculik bayi dan Bathara Narada yang entah akan berbuat apa jika tak ada tetabuhan
sesuai wejangan Mbah Dukuh.
“Wes pokok e
golekno lumpang kui. Goleko wong lanang-lanang liyane kanggo ngrewangi koe leh
mu nembung ro Toh Suro. Aku tak golek wong wadon-wadon”. Waginem tak menggubris dengan kepanikannya ia tak
mungkin bisa berpikir jernih. Ia menyalakan obor blaraknya lalu turun bukit
untuk mengabari para ibu-ibu desa agar segara merapa ke rumah Tuminem. Sementara
Parman nekat pergi naik ke bukit ke Toh Suro. Berniat mengambil lumpang tanpa melalui
berbagai syarat. Demi amannya sang jabang bayi nanti.
Oeeeee oeeeee terdengar tangisan bayi lahir dari Rahim
sang Ibu. Tangisan bayi laki-laki yang menggelegar disambut belasan para
ibu-ibu desa yang telah bersiap menabuh gejog lesung. Sementara itu bulan sudah
hampir setengah hilang. Keringat membanjiri Mbah Dukuh yang sedari tadi resah
akan keadaan. Semantara itu, lesung yang akan dicarikan Parman tak kunjung ada.
Parman belum kembali ke rumah Tuminem. Padahal sudah tepat tengah malam dengan
longongan srigala yang mulai menggila di malam itu. Waginem resah tak
beraturan. Mondar-mandir sambil mencari apapun benda yang bisa dibunyikan
sebagai pengganti lesung untuk dibunyikan.
Sementara Tuminem memejamkan matanya. Lemas tak
berdaya sambil darahnya di lap oleh Mbah Dukuh. Sedang Yati yang tanggap segera
membersihkan darah di seluruh tubuh bayi laki-laki lalu mengambil jarik bayi
dan menggedongnya atau membalutkan
jarik itu ke sekujur tubuh bayi agar tidak kedinginan.
Waginem masih bingung. Ibu-ibu lain
juga turut merasakan keresahan di balik kebahagiaan lahirnya sang jabang bayi. Belum
ada bunyi-bunyian yang dapat bunyikan. Sementara bulan kian tertutup dan malam
mulai larut dan sunyi. Angin semilir membangkitkan bulu kuduk tanda kehadiran
Joko Dolok mulai terasa. Sedangkan kaum laki-laki tak ada satupun di rumah
Tuminem melainkan menyusul Parman ke bukit Toh Suro yang tak kunjung selesai
mengambil lesung Toh Suro.
Aungan srigala mulai terdengar ramai.
Anjing-anjung hutan mulai menggonggong. Diiringi tangisan jabang bayi yang juga
melengking. Tuminem tersadar dan membuka matanya. Sementara yati meletakan bayi
Tuminem di samping tubuh Tuminem dan bergegas mengambil kendil wadah ari-ari
atau plasenta bayi Tuminem. Tuminem mengelus kepala sang bayi sambil berucap, “Kelik
Candragrahana” sebuah nama yang terbesit di benak Tuminem untuk menamai sang
jabang bayi. Mbah dukuh yang mendengar ucapan Tuminem tersenyum. Nama yang
indah untuk seorang bayi laki-laki yang lahir di saat gerhana bulan. Kelik
artinya adalah anak laki-laki, secangkan candragrahana adalah gerhana bulan. Diciumlah
kening sang bayi. Meski tangan tak mampu mendekap karena letih tak terkira.
Mbah Dukuh yang kala itu berada di
samping Tuminem bergegas menyusul Yati untuk mengubur ari-ari dan membuat
penerangan di belakang rumah Tuminem. Sementara Waginem masih berada di luar Bersama
ibu-ibu sambil ceceluk atau bebeluk sambil mengucapkan kalimat-kalimat untuk
sang Joko Dolok yang mulai hadir rasa-rasanya dan Bathara Narada untuk berhenti
menelan sang bulan. “Ealah ealah Joko Dolok. Iki bayiku dudu bayimu.” Terus
berulang ulang sambil menabuh kentongan yang waginem dapat dari samping rumah
Tuminem. Lesung yang harusnya dibunyikan tak kunjung datang. Bahkan Waginem
sempat berpikir buruk pada Parman yang mengabaikan perintahnya. Gejog lesung
adalah bukti usaha warga yang turut melawan ganasnya dan liciknya Joko Dolok
untuk merebut sang bayi dari ibunya. Sebuah usaha untuk kalahkan Joko Dolok
agar tak dapat masuk ke pekarangan rumah Tuminem dan mengicar bayi Tuminem.
Ibu-ibu desa terus menerus menyebutkan kalimat itu
hingga tak terhitung jumlahnya. Sambil kentongan terus dibunyikan. Namun rasa-rasa
resah dan mencekam tak kunjung hilang bahkan semakin terasa. Seolah angin berlari
kearah rumah Tuminem dengan dahsyatnya. Srigala menggonggong seolah turut
mendekati rumah Tuminem mengantar sang Joko Dolok menyusup ke rumah Tuminem.
Hingga tak disangka-sangka sesuatu yang buruk akhirnya
terjadi. Tuminem kejang dan Kelik menghilang. Joko Dolok menang akibat lesung
tak kunjung datang. Si Parman tak kunjung datang karena turut menghilang dibawa
Toh Suro akibat lesung yang curi. Kabar hilangnya Parman datang dari para kaum
laki-laki yang membawa oncor datang ke rumah Tuminem sembari memberi kabar
hilangnya jejak si Parman seiring hilangnya Kelik.
Kelik
sang jabang bayi lahir saat gerhana bulan. Tak diendong dan tak di gejog
lesung. Kini sirnalah Kelik diambil Joko Dolok dari pelukan sang Ibu. Ikhlas
dan rela sang Ibu kembali nelangsa. Joko Dolok memang pintar angon limpene uwong. Disaat tubuh Tuminem
tak berdaya, disaat Mbah Dukuh dan Yati pergi. Disitulah Kelik diculik sang
Joko Dolok.
Konon jika bayi lahir maka wajib untuk sebagian warga
mengendong. Jika tidak maka sirnalah
bayi itu dari dekapan sang Ibu dengan misterius tanpa dapat dipikir dengan akal
sehat. Warga menyebut Joko Dolok, sejenis mahkluk gaib yang akan mengambil sang
bayi secara misterius tanpa terduga dan mengambil angon limpene uwong atau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Maka selalu ketika seorang bayi lahir dan
mulai menangis saat untuk pertama kali menyentuh udara dunia, rombongan ibu-ibu
desa terburu-buru menyiapkan lumpangnya dan memulai gejog lesung. Membuat bunyi-bunyian untuk menghalau sepi, mencegah sang
Joko Dolok datang mencandai sang bayi dan merebutnya dari sang Ibu. Gejog lesung
diperdengarkan juga sebagai tanda bahwa lahirlah seorang bayi. Agar semua warga
tahu dan dapat me-ngendong bayi itu
setiap malam. Me-ngendong artinya menjaga
sang bayi setiap malam tanpa tertidur hingga larut malam menjelang pagi agar sang
bayi mempunyai “batir” atau teman di kala malam dan menjaganya dari ganasnya Joko
Dolok yang sewaktu-waktu mengincar sang bayi di angon limpene atau mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika sang
bayi ditinggal tidur sang penjaga.
Joko Dolok
Kala itu di desa Truno, kala traktor-traktor besar
Belanda terus menerus menggerus tanah-tanah dan menggali dalam batu-batu mangaan
di desa Truno, Tuminem seorang pekerja wanita yang hamil besar bersimpuh
mengerang. Sambil membuang pukulnya, Tuminem memegang perut besarnya. Kala itu
Belanda tak lama kemudian berteriak “Laut (Lay out) laut (Lay Out)…” tanda waktu
bekerja telah berakhir. Tuminem yang hamil besar kontraksi hebat tepat saat waktu
bekerja berakhir yang mungkin jika dulu ada jam, maka kurang lebih menunjukan
waktu sore sekitar pukul empat.
“Hyunggggg… tulungono aku… loro tenan. Aku ra kuat”.
Tuminem banjir peluh dan air mata tak kuasa menahan rasa sakit yang
dirasakannya. Setelah kelelahan memukul batu-batu mangaan hasil tambang sepanjang
hari, Tuminem lantas merasakan kontraksi hebat di perut besarnya. Pekerja lain
yang kala itu turut bekerja lantas menghampiri Tuminem yang sudah tumbang
dengan ketuban mengalir deras di sela-sela pahanya dan mengenai jarik yang di
pakainya.
“Tumini arep bayen… Tumini arep bayen…” Teriak Yati
yang melihat rubuhnya tubuh Tuminem. Teriakan
Yati didengar oleh pekerja lain yang tak lama kemudian berhamburan mendekap tubuh
Tuminem yang tak berdaya.
“Wes mbuka, wes mbuka. Gek dundangke Mbah Dukuh wae. Gek
ndang gowo bali nang omahe” Teriak Waginem. Waginem sempat menyibak jarik Tuminem
dan melihat jalan lahir Tuminem. Waginem lantas menyuruh warga lainnya untuk
membawa Tuminem yang lemah ke rumahnya yang berada di Gunung Telo, sebuah bukit
tinggi sekitar 2 kilo meter dari Penbo tempat mereka bekerja itu. Sementara Waginem
berlari ke desa Dukuh desa sebrang untuk memanggil mbah dukuh. Sebutan untuk
dukun sidhat atau dukun melahirkan kala
itu. Tuminem di bopong Parman dan Yati mengikutinya dari belakang.
Tuminem lemah bersimbah peluh kini berada di senthong, sebuah bilik di dalam rumahnya
dan terbaring di atas dipan yang beralaskan
galar. Parman dan Yati yang kala itu mengantar
Tuminem pulang segera menyiapkan hal-hal yang perlu disiapkan untuk keperluan sidhat. Pintu senthong yang tadinya
tertutup dibuka lebar bahkan oleh Parman dijebolnya pintu itu. Sengaja tanda
akan terjadi kehebohan yang besar saat Tuminem melahirkan. Agar banyak orang
yang datang bisa leluasa melihat kondisi Tuminem dengan leluasa.
“Man… saiki genenono
wedang. Aku tak gelari jarik”
himbau Yati pada Parman. Yati menyuruh Parman untuk segera menyiapkan air hangat.
Parman dengan cekatan mengambil air dari sumur belakang rumah Tuminem dan menyiapkan
perapian untuk menghangatkan air. Sementara suara teriakan Tuminem masih
terdengar nyaring terdengar justru semakin membuat Parman melupakan kelelahannya
usai bekerja dan semakin cekatan memanaskan air untuk membasuh Tuminem saat sidhat
nanti.
“Ti… ra ono kayu
cemepak. Kayune entek, garek blarak garing wae”. Parman menemukan masalah saat mulai menyiapkan
perapian. Tak ada kayu kering yang tersisa di dekat luweng, nama perapian jaman dulu. Hanya tersisa blarak garing atau daun kelapa kering
yang tentu tak cukup awet menjag api agar tetap menyala.
“Brongoten wae
nggo blarak sek akeh mengko rak yon ndang umep”. Yati lantas menyuruh Parman segera membakar kendi-kendi
berisi air sumur dengan blarak-blarak
tadi. Sebuah cara tercepat jika tidak ada kayu bakar. Tanpa ragu parman mulai
membakar kendi-kendi itu. Parman juga mengambil tumpukan damen atau jerami kering di kandang sapi milik Tuminem untuk
membakar kendi-kendi. Asap membumbung tinggi kala api mulai menjalari blarak dan damen yang mengenai kendi-kendi air.
Hari mulai sore menjelang surup. Yati telah selesai menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan
Tuminem untuk melahirkan di dalam senthong. Sentir atau lentera api telah dihidupkan
di samping tempat tidur Tuminem untuk penerangan. Jarik-jarik lawas Tumen telah
tersusun rapi di bawah tubuh Tuminem untuk tadah darah saat Tuminem bersimbah
darah melahirkan nanti. Tinggal air yang belum juga panas yang belum disiapkan.
Parman masih saja membakar blarak hingga asap-asap mengepul dan api mulai
terlihat jelas sebab matahari mulai meredup. Diiringi teriakan-teriakan Tuminem
yang tak kunjung berhenti yang entah sampai kapan berhenti.
Sementara itu, Waginem dan mbah dukuh sedang berjalan
menuju rumah Tuminem. Perjalanan lumayan jauh dan melelahkan. Tak ada
transportasi apapun yang membantu mereka datang lebih cepat ke rumah Tuminen. Sepanjang
jalan menanjak mulai terdengar suara jangkrik dan gonggongan anjing hutan yang
berasal dari hutan seberang. Berbekal blarak dan korek mereka berjaga-jaga
untuk penerangan bila hingga malam tiba mereka belum sampai di rumah Tuminem. Pelan-pelan
mereka berjalan lalu terlihatlah dari kejauhan sebuah rumah kayu berpeluk.
“Kae mbah dukuh, omahe si Tuminen. Sek ono peluk e kae.” Waginem menunjukan kepada Mbah Dukuh sebuah rumah
kayu joglo dengan peluk membumbung tinggi dibelakangnya dan percikan-percikan
api yang terlihat. Peluk yang berasal dari perapian Parman saat itu.
“Monggo Mbah, Tuminem sajak pun mboten
kuat maleh” Waginem lantas segera
membawa Mbah Dukuh ke rumah Tuminem dan mempercepat langkah mereka.
“Wes mbukak piro mau?” Mbah Dukuh bertanya mengenai jalan lahir yang sudah
Waginem lihat dari Tuminem untuk memperkirakan kapan akan lahir bayinya.
“Aku mau ndelokke agek mbukak siji Mbah”
Jawab Waginem dengan raut muka
khawatir. Waginem tahu bahwa masih ada proses panjang dan menyakitkan yang akan
Tuminem rasakan saat menanti bayinya lahir.
“Mugo-mugo cepet tambah buka ane. Kurang
luweh si jabang bayi bakal lahir mengko tengah wengi. Mangkakno mengko tengah
wengi kui wayahe sang candragrahana kedadean. Bakal ono Bathara Narada lan
tekane si Joko Dolok. Ojo lali golek o lumpang sek gedhe lan
kumpulno kabeh wong wadon-wadon kene. Undangno sek lanang-lanang kon ngewangi
lek-lekan”. Kekawatiran di raut muka Mbah Dukuh tak bisa disembunyikan
meskipun surup-surup cahaya matahari telah sirna. Mbah Dukuh yang terkenal
sebagai dukun bayi yang tak diragukan kembali kemampuannya seantero Truno mewanti-wanti
Waginem agar mengumpulkan para perempuan untuk membunyikan lesung dan para
laki-laki untuk ngendong saat bayi
Tuminem lahir tengah malam nanti saat gerhana bulan datang. Pembukaan jalan
lahir Tuminem yang masih sedikit membuat Mbah Dukuh ragu akan lahirnya si
jabang bayi secepat mungkin. Kemungkinan baru akan terdengar tangisan bayi saat
tengah malam nanti saat sang Bathara Narada menelan perlahan sang candra dan saat
sang Joko Dolok mulai mengincar bayi di tengah sunyinya malam.
“Oalah
biyung… tulungono. Nasibmu kok koyo ngene Tum. Mangkakno wes ditinggal bojomu
minggat”. Keluh Waginem yang iba melihat nasib Tuminem yang merupakan seorang
janda yang ditinggal pergi sang suami tepat 4 bulan setelah menikah atau ketika
kandungan Tuminem diusia ke 3 bulan. Sang suami pergi akibat sihir pelet
Suryani yang cinta buta dengan suami Tuminem. Ketika Tuminem sedang alami
ngidam hebat disitulah Paryono sang suami jatuh cinta dengan kemolekan tubuh
Suryani. Sungguh nasib yang menguji iman Tuminem.
Waginem dan Mbah Dukuh sampai ke
rumah Tuminem. Terikan Tuminem terdengar masih nyaring. Bergegas Yati menyambut
mereka dan mengarahkan mereka ke dalam senthong
dan memperlihatkan kondisi Tuminem yang sudah pucat pasi. Mbah dukuh
perlahan membantu Tuminem menata nafas dan melakukan pekerjaannya.
Sementara itu Waginem yang teringat
wejangan Mbah Dukuh segera mengajak Parman untuk mengkondisikan keadaan. Sedang
Yati masih dengan setia menemani Tuminem dan Mbah Dukuh berjuang antara hidup
dan mati.
“Man… mengko wengi ono
candragrahana. Gek golekno aku lumpang karo golekno uwong-uwong kon ngendong
rene. Ojo nganti kendat tetabuhane. Mergo adewe ora ngerti bakal ono opo ne
kora ono tetabuhan ro benek e uwong nang kene”. Waginem lantas menyuruh Parman pergi mencari
lumpang, sebuah penutu padi yang dapat dibunyikan dengan beriirama. Sedang Waginem
memilih turun bukit dengan berbekal obor dari blarak dan mencari ibu-ibu desa untuk membunyikan gejog lesung saat
bayi lahir nanti.
“Yu… Siji-sijine kang due lumpang gejog
lesung namung Toh Suro to Yu. Aku yo ora wani nek kon nggolek lumpang e kui
dewe. Aku kudu nggawa bekal opo dinggo njilih lumpang e Toh Suro” Ujar ragu Parman saat Waginem menyuruhnya meminjam lumpang
gejog lesung pada Toh Suro. Hal ini menyulitkan Parman yang tak mampu berhadapan
dengan Toh Suro sang penguasa gaib desa Truno. Pemilik lumpang gejog lesung
yang tersimpan rapat di sebuah gubuk di puncak bukit Toh Suro.
Lumpang yang sering berbunyi secara gaib di malam satu
sura yang kemungkinan Toh Suro lah yang memainkannya. Lumpang ini akan di
pinjam warga dengan syarat yang banyak untuk meminjamnya saat malam gerhana untuk
tetabuhan mengusir Bathara Narada yang akan menelan bulan. Namun karena bayi
Tuminem lahir tepat di saat candragrahana datang, maka gejog lesung itu harus
di bunyikan malam itu juga demi menjaga jabang bayi dari jahatnya Joko Dolok si
penculik bayi dan Bathara Narada yang entah akan berbuat apa jika tak ada tetabuhan
sesuai wejangan Mbah Dukuh.
“Wes pokok e
golekno lumpang kui. Goleko wong lanang-lanang liyane kanggo ngrewangi koe leh
mu nembung ro Toh Suro. Aku tak golek wong wadon-wadon”. Waginem tak menggubris dengan kepanikannya ia tak
mungkin bisa berpikir jernih. Ia menyalakan obor blaraknya lalu turun bukit
untuk mengabari para ibu-ibu desa agar segara merapa ke rumah Tuminem. Sementara
Parman nekat pergi naik ke bukit ke Toh Suro. Berniat mengambil lumpang tanpa melalui
berbagai syarat. Demi amannya sang jabang bayi nanti.
Oeeeee oeeeee terdengar tangisan bayi lahir dari Rahim
sang Ibu. Tangisan bayi laki-laki yang menggelegar disambut belasan para
ibu-ibu desa yang telah bersiap menabuh gejog lesung. Sementara itu bulan sudah
hampir setengah hilang. Keringat membanjiri Mbah Dukuh yang sedari tadi resah
akan keadaan. Semantara itu, lesung yang akan dicarikan Parman tak kunjung ada.
Parman belum kembali ke rumah Tuminem. Padahal sudah tepat tengah malam dengan
longongan srigala yang mulai menggila di malam itu. Waginem resah tak
beraturan. Mondar-mandir sambil mencari apapun benda yang bisa dibunyikan
sebagai pengganti lesung untuk dibunyikan.
Sementara Tuminem memejamkan matanya. Lemas tak
berdaya sambil darahnya di lap oleh Mbah Dukuh. Sedang Yati yang tanggap segera
membersihkan darah di seluruh tubuh bayi laki-laki lalu mengambil jarik bayi
dan menggedongnya atau membalutkan
jarik itu ke sekujur tubuh bayi agar tidak kedinginan.
Waginem masih bingung. Ibu-ibu lain
juga turut merasakan keresahan di balik kebahagiaan lahirnya sang jabang bayi. Belum
ada bunyi-bunyian yang dapat bunyikan. Sementara bulan kian tertutup dan malam
mulai larut dan sunyi. Angin semilir membangkitkan bulu kuduk tanda kehadiran
Joko Dolok mulai terasa. Sedangkan kaum laki-laki tak ada satupun di rumah
Tuminem melainkan menyusul Parman ke bukit Toh Suro yang tak kunjung selesai
mengambil lesung Toh Suro.
Aungan srigala mulai terdengar ramai.
Anjing-anjung hutan mulai menggonggong. Diiringi tangisan jabang bayi yang juga
melengking. Tuminem tersadar dan membuka matanya. Sementara yati meletakan bayi
Tuminem di samping tubuh Tuminem dan bergegas mengambil kendil wadah ari-ari
atau plasenta bayi Tuminem. Tuminem mengelus kepala sang bayi sambil berucap, “Kelik
Candragrahana” sebuah nama yang terbesit di benak Tuminem untuk menamai sang
jabang bayi. Mbah dukuh yang mendengar ucapan Tuminem tersenyum. Nama yang
indah untuk seorang bayi laki-laki yang lahir di saat gerhana bulan. Kelik
artinya adalah anak laki-laki, secangkan candragrahana adalah gerhana bulan. Diciumlah
kening sang bayi. Meski tangan tak mampu mendekap karena letih tak terkira.
Mbah Dukuh yang kala itu berada di
samping Tuminem bergegas menyusul Yati untuk mengubur ari-ari dan membuat
penerangan di belakang rumah Tuminem. Sementara Waginem masih berada di luar Bersama
ibu-ibu sambil ceceluk atau bebeluk sambil mengucapkan kalimat-kalimat untuk
sang Joko Dolok yang mulai hadir rasa-rasanya dan Bathara Narada untuk berhenti
menelan sang bulan. “Ealah ealah Joko Dolok. Iki bayiku dudu bayimu.” Terus
berulang ulang sambil menabuh kentongan yang waginem dapat dari samping rumah
Tuminem. Lesung yang harusnya dibunyikan tak kunjung datang. Bahkan Waginem
sempat berpikir buruk pada Parman yang mengabaikan perintahnya. Gejog lesung
adalah bukti usaha warga yang turut melawan ganasnya dan liciknya Joko Dolok
untuk merebut sang bayi dari ibunya. Sebuah usaha untuk kalahkan Joko Dolok
agar tak dapat masuk ke pekarangan rumah Tuminem dan mengicar bayi Tuminem.
Ibu-ibu desa terus menerus menyebutkan kalimat itu
hingga tak terhitung jumlahnya. Sambil kentongan terus dibunyikan. Namun rasa-rasa
resah dan mencekam tak kunjung hilang bahkan semakin terasa. Seolah angin berlari
kearah rumah Tuminem dengan dahsyatnya. Srigala menggonggong seolah turut
mendekati rumah Tuminem mengantar sang Joko Dolok menyusup ke rumah Tuminem.
Hingga tak disangka-sangka sesuatu yang buruk akhirnya
terjadi. Tuminem kejang dan Kelik menghilang. Joko Dolok menang akibat lesung
tak kunjung datang. Si Parman tak kunjung datang karena turut menghilang dibawa
Toh Suro akibat lesung yang curi. Kabar hilangnya Parman datang dari para kaum
laki-laki yang membawa oncor datang ke rumah Tuminem sembari memberi kabar
hilangnya jejak si Parman seiring hilangnya Kelik.
Kelik
sang jabang bayi lahir saat gerhana bulan. Tak diendong dan tak di gejog
lesung. Kini sirnalah Kelik diambil Joko Dolok dari pelukan sang Ibu. Ikhlas
dan rela sang Ibu kembali nelangsa. Joko Dolok memang pintar angon limpene uwong. Disaat tubuh Tuminem
tak berdaya, disaat Mbah Dukuh dan Yati pergi. Disitulah Kelik diculik sang
Joko Dolok.
Konon jika bayi lahir maka wajib untuk sebagian warga
mengendong. Jika tidak maka sirnalah
bayi itu dari dekapan sang Ibu dengan misterius tanpa dapat dipikir dengan akal
sehat. Warga menyebut Joko Dolok, sejenis mahkluk gaib yang akan mengambil sang
bayi secara misterius tanpa terduga dan mengambil angon limpene uwong atau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Maka selalu ketika seorang bayi lahir dan
mulai menangis saat untuk pertama kali menyentuh udara dunia, rombongan ibu-ibu
desa terburu-buru menyiapkan lumpangnya dan memulai gejog lesung. Membuat bunyi-bunyian untuk menghalau sepi, mencegah sang
Joko Dolok datang mencandai sang bayi dan merebutnya dari sang Ibu. Gejog lesung
diperdengarkan juga sebagai tanda bahwa lahirlah seorang bayi. Agar semua warga
tahu dan dapat me-ngendong bayi itu
setiap malam. Me-ngendong artinya menjaga
sang bayi setiap malam tanpa tertidur hingga larut malam menjelang pagi agar sang
bayi mempunyai “batir” atau teman di kala malam dan menjaganya dari ganasnya Joko
Dolok yang sewaktu-waktu mengincar sang bayi di angon limpene atau mengambil kesempatan dalam kesempitan ketika sang
bayi ditinggal tidur sang penjaga.
0 komentar:
Posting Komentar