Senin, 06 Maret 2017

Published Maret 06, 2017 by with 0 comment

Teori-teori dalam Hubungan Interpersonal


Teori-teori dalam Hubungan Interpersonal
Berdasarkan dari teori Coleman dan Hammen, Jalaluddin Rakhmad (1996:120:124) menyebutkan ada empat buah teori atau model hubungan interpersonal. Diantaranya sebagai berikut :
A.    Teori Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial adalah salah satu teori yang membahas mengenai hubungan interpersonal atau antarpribadi.  Dalam teori ini dijelaskan bahwa hubungan antarpribadi atau interpersonal adalah hubungan yang dalam berkomunikasi menentukan titik keseimbangannya antara sesuatu yang telah dikorbankan dan keuntungan dari menjalin sebuah hubungan interpersonal atau antarpribadi. Jika merasa terlalu banyak pengorbanan maka hubungan interpersonal tersebut dapat terganggu, putus, bahkan menjadi permusuhan. Sebaliknya, bila dalam menjalin hubungan merasa mendapatkan benyak keuntungan, maka hubungan tersebut dapat berjalan mulus dan terus berlanjut.  Maka dari itu, bila seseorang menginginkan suatu hubungan interpersonal dengan orang lain, hal itu karena dilandasi oleh rasa ingin mendapat keuntungan yang memenuhi kebutuhan individunya. Rasa nyaman ketika menjalin hubungan interpersonal muncul karena adanya keseimbangan antara pengorbanan dan keuntungannya.
Menurut Thibault dan Kelley menyimpulan bahwa “Setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Menurut Jalaluddin rakhmad (2002: 121), ada empat konsep pokok dalam teori pertukaran sosial ini, yaitu ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan.
Jalaluddin rakhmat (1996:121) Ganjaran adalah ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa setiap orang dalam melakukan hubungan interpersonal mengharapkan ganjaran yang diperoleh, berbeda-beda setiap individunya. Sebagai contoh, seorang pedagang yang menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain dalam arti pembeli, karena mengharapkan keuntungan atau ganjaran yang berupa uang untuk menyokong perekonomiannya. Lain lagi dengan seorang pengusaha yang secara finansial tercukupi, yang manjalin hubungan interpersonal dengan pengelola panti asuhan dalam rangka memberikan sejumlah sumbangan kepada anak-anak panti asuhan. Pengusaha tersebut tidak mengharapkan ganjaran yang diterima berupa uang. Namun ganjaran yang diharapkan berupa penerimaan sosial atau suatu dukungan dari para penghuni pantai asuhan. Apabila dilihat dari kedua contoh, dapat diketahui bahwa kedua orang tersebut mengharapkan ganjaran yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini bergantung pada kondisi perekonimian mereka yang berbeda pula.
Konsep kedua adalah biaya. Biaya didefinisikan Jalaluddin Rakhmat (1996:21) sebagai akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Mengambil contoh dari seorang pedagang. Pedagang dalam setiap pekerjaan tentu mengharapkan ganjaran atau keuntungan berupa uang dengan biaya modal yang serendah-rendahnya. Apabila seorang pedagang tersebut merasa biaya yang dikeluarkan terlalu banyak, sedang keuntungannya sedikit dan tidak sebanding dengan biaya modal yang dikeluarkan, maka pedagang tersebut akan cinderung beralih ke usaha yang lain. Hal itu berlaku pula dalam suatu hubungan interpersonal. Apabila seseorang menjalin persahabatan dengan orang lain, dengan banyak hal yang ia korbankan (biaya) untuk menjalin persahabatan, namun ia merasa hubungan persahabatannya tidak mendatangkan sesuatu yang baik dan hanya demi menjaga persahabatan mereka tidak putus, maka orang tersebut mengalami rugi karena biaya yang ia korbankan tak sebanding dengan ganjaran yang ia terima. Maka orang tersebut cinderung menghentikan persahabatannya. Lain hal nya dengan seseorang yang menjalin persahabatan dengan banyak hal ia korbankan (biaya), namun sebanding dengan ganjaran yang ia terima selama menjalin persahabatan dalam hal lain sang sahabat memberika timbal balik yang baik pula dengan seseorang itu, maka orang tersebut tentu mendapatkan laba. Artinya Ganjaran yang ia terima lebih banyak atau sepadan dengan (biaya) yang dikorbankan.  Menurut Jalaluddin Rakhmad, Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
Ketika seseorang mengalami kegagalan dalam melakukan hubungan interpersonal maka muncul konsep tingkat perbandingan. Dimana seseorang cinderung melakukan perbandingan dari hubungan interpersonal orang terdahulu dimana ia gagal menjalin hubungan interpersonal dengan orang di masa sekarang. Sebagai contoh, seseorang investor yang pernah tertipu oleh seorang pengusaha saat menjalin kerjasama, maka disaat ia akan menjalin kerjasama lagi dengan pengusaha lain, maka ia akan cinderung membandingkan pengusaha yang dulu sempat menipu dengan pengusaha sekarang yang akan diajak bekerjasama. Semakin tinggi tingkat perbandingan maka akan semakin buruk atau semakin sukar dalam membangun hubungan interpersonalnya.
Dalam teori pertukaran sosial ini, dapat diketahui bahwa apabila seseorang yang menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain cinderung mempertimbangkan biaya (waktu, usaha, konflik, kecemasan,dll) atau yang dikorbankan individu dengan ganjaran yang ia terima dapat berupa uang, penerimaan sosial dan dukungan. Demi mendapatkan laba/hasil atau manfaat yang ia terima dari hasil ganjaran yang dikurangi biaya. Apabila seseorang merasa dirugikan dalam suatu hubungan dalam arti biaya yang ia korbankan tidak sebanding dengan ganjaran yang ia terima, maka seseorang tersebut cinderung akan menghentikan atau memutuskan suatu hubungan interpersonal dengan orang lain. Dan akan menjalin hubungan interpersonal yang baru dengan orang yang baru yang lebih mendatangkan laba atau manfaat dengan memperhatikan tingkat perbandingannya.
Perlu diketahui pula, mengapa dalam teori ini, orang dalam melihat suatu hubungan interpersonal seperti layaknya seorang pedagang yang mencari laba? hal ini karena teori pertukaran sosial ini juga digunakan dalam penelitian suatu sikap dan perilaku ekonomi. Namun kini, teori ini juga digunakan dalam memandang sikap dan perilaku dalam hubungan dan komunikasi.

B.     Model Peranan
Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.(Soekanto, 2009:212-213). Dari teori tersebut, suatu kedudukan tidak akan berfungsi apabila tanpa peranan. Di dalam kelas tidak akan ada peranan “Guru”apabila tidak ada yang menerngkan atau mengampu suatu pelajaran di dalam kelas.
Menurut teori peranan, suatu hubungan interpersonal akan berjalan dengan baik apabila seseorang yang terlibat dalam hubungan tersebut dapat melakukan tindakan sesuatu dengan ekspektasi peranan, tuntutan peranan, dan menghindari konflik peranan.
Pertama, Ekspektasi peranan atau peran yang diharapkan. Artinya, hubungan interpersonal akan berjalan dengan baik apabila setiap individu mampu memerankan peran mereka masing-masing sesuai dengan yang diharapkan. Adapun contohnya adalah seorang ketua kelas yang digambarkan sebagai seseorang yang bijaksana dalam mengelola kelas harus bertindak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu bertindak dengan bijaksana, adil dan mengayomi seluruh penghuni kelas. Dengan begitu, hubungan ketua kelas dan anggota kelas akan tercipta dengan baik. Namun apabila sang ketua bertindak semena-mena dan memiliki sikap pengatur, maka sebagai seorang ketua kelas, ia tak mampu memenuhi atau bertindak sesuai ekspektasi peranan. Sikap bijaksana, adil, dan mengayomi adalah ekspektasi peranan dari seorang ketua kelas. Dalam artian sikap tersebut adalah sikap yang seharusnya atau diharapkan untuk ditunjukan oleh setiap ketua kelas. Untuk itu demi terciptanya hubungan interpersonal yang baik, maka sebagai ketua kelas harus melakukan sikap yang diharapkan tersebut. Apabila ia benar menunjukan sikap tersebut maka berhasilah hubungan interpersonal nya dengan anggota kelas. Bila tidak diwijudkan maka hubungan interpersonalnya tidak berjalan lancar.
Kedua adalah Tuntutan Peranan. Tuntutan peranan adalah desakan keadaan yang memaksa individu memainkan peranan tertentu yang sebenarnya tidak diharapkan.  Adalakanya dalam hubungan interpersonal seseorang dipaksa untuk memainkan peran yang sebenarnya tidak diharapkan oleh orang tersebut.  Orang tersebut harus melakukan peranan tersebut dikarena sebuah tuntutan yang harus dilakukannya. Sebagai contoh adalah seorang siswa yang ditunjuk sebagai ketua OSIS oleh siswa lainnya. Sebagai seorang siswa yang tunjuk sebagai ketua OSIS, maka ia dituntut memainkan perannya sebagai ketua OSIS. Apabila ia berhasil memainkan tuntutan peranan tersebut, maka ia hubungan interpersonalnya dengan anggota osis dan siswa lainnya akan berjalan dengan baik. Peran sebagai ketua OSIS yang merupakan hasil dari penunjukan sejumlah siswa terhadapnya itu merupakan sebuah tuntutan peranan.  Tuntutan peranan inilah yang harus dilakukan orang tersebut demi menjaga hubungan interpersonal agar tetap berjalan dengan baik meskipun keadaan tersebut bersifat memaksa dirinya.  
Ketiga adalah menghindari Konflik Peranan. Konflik peranan terjadi ketika seseorang tidak sanggup melakukan tuntutan peranan yang bersifat kontradiktif dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Sebagai contoh adalah seseorang lelaki yang bekerja sebagai seorang polisi. Disuatu saat ia tengah mengalami peristiwa dimana anaknya melanggar hukum dan harus mendapatkan sanksi. Sebagai seorang Ayah tentu secara naluriah akan membela anaknya dan mencoba membebaskan anaknya dari jeratan hukum. Namun hal itu tentu bertolak belakang dengan profesinya yang menuntutnya untuk selalu taat kepada hukum. Kontradiktifnya adalah apakah ia mampu membebaskan anaknya dari jeratan hukum? Padahal sebagai seorang polisi harus taat hukum dan mengerti tentang sanksi yang harus diberikan apabila melanggar hukum.
Jalaluddin Rakhmad (1996:122) mengatakan, apabila model pertukaran sosial memandang hubungan interpersonal sebagai transaksi dagang, model peranan melihatnya sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang harus memainkan perannya sesuai dengan “skenario”yang dibuat oleh masyarakat.
Maka menurut teori tersebut, setiap orang apabila menginginkan hubungan interpersoalnya dengan orang lain berjalan dengan baik, ada baiknya bertindak sesuai apa yang diharapkan atau seharusnya dilakukan, serta mengindari konflik peranan. Karena peranan merupakan sebuah pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat, konsep suatu individu terhadap masyarakat sebagai organisasi, dan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

C.       Model Permainan
Berdasarkan teori model permainan, terdapat tiga klasifikasi manusia. Yakni: anak-anak, orang dewasa, dan orang tua.
a.    Anak-anak
Anak-anak digambarkan memiliki sifat yang penuh dengan spontanitas dan kesenangan. Ia akan cinderung bersikap manja, belum mengerti apa itu tanggung jawab. Ia akan menangis, ngambek, atau cuek apabila permintaannya tidak dituruti. Anak-anak cinderung belum dapat memahami orang lain melainkan anak-anaklah yang harus dipahami orang lain khususnya oleh orang yang lebih dewasa.
b.      Orang dewasa
Berbeda dengan anak-anak yang belum mengerti tanggung jawab. Orang dewasa bersikap lebih lugas dan sadar tanggung jawab. Apapun yang ia lakukan ia harus berani menanggung segala resikonya. Ia harus memiliki logika yang baik dalam mengadapi suatu masalah. Berbeda dengan anak-anak. Ia harus dapat memecahkan masalahnya sendiri dan berani bertanggung jawab.

c.       Orang tua
Orang tua digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan sabar. orang tua harus bisa bersikap mengayomi dibandingkan anak-anak dan dewasa. Hal ini karena pengalaman suka duka yang dihadapi orang tua lebih banyak. Orang tua sudah banyak belajar dari kesalahan sebelum-sebelumnya. Untuk itu orang tua layak bersikap sebagaimana sikap orang tua ditunjukan. Tidak lagi seperti anak-anak yang belum dapat mengerti banyak hal.
Dalam suatu hubungan interpersonal, seseorang akan menentukan dengan sendirinya aspek kepribadian yang akan ditampilkan sesuai dengan kodratnya. Merasa sebagai seseorang yang lebih dewasa dalam ruang lingkup anak-anak, maka ia bersikap yang paling dewasa dan yang berperan sebagai pelindung dan memberikan teladan. Apabila seseorang yang dianggap sudah dewasa ini tidak mampu bersikap layaknya orang dewasa, maka akan menghambat kenyamanan suatu hubungan interpersonal.
Contoh lain dari teori ini adalah ketika seorang Ibu mengalami sakit parah dan harus dirawat dirumah sakit sehingga ia tidak dapat melakukan perkerjaan sehari-harinya secara normal meskipun hanya untuk makan dan mandi, maka sang anak seharusnya mampu mengurus dan membantu ibunya yang sedang sakit. Apabila Ibunya hendak meminta disuapi makanan, maka sang anak harus menyuapi makanan pada ibunya. Dalam contoh kasus tersebut sang ibu cinderung memiliki kepribadian anak-anak dan sang anak cinderung memiliki kepribadian orang tua. Hal ini memang bertolak belakang dengan posisi mereka masing-masing. Namun apabila mereka tetap berada pada posisi mereka masing-masing, maka hubungan interpersonal mereka tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini karena teori permainan ini, menuntut para pemain ­yang memainkan peranan dapat memilih dan memainkan peranan mereka sesuai dengan kondisi atau situasi demi mancapai hal-hal yang bersifat baik dan menguntungkan. Dalam hubungan tersebut satu individu menampilkan salah satu aspek kepribadian. Dalam contoh tersebut ketika seorang ibu sedang sakit dan menampilkan sosok kepribadian anak-anak yang ingin dimandikan dan disuapi. Kemudian orang lain, yaitu anaknya, akan membalasnya dengan salah satu aspek kepribadian pula yaitu sebagai sosok kepribadian orang tua yang merawat ibunya yang sedang sakit.  Walaupun posisi seorang Ibu adalah sebagai orang tua dan anaknya sebagai anak-anak. Karena menjadi orang tua itu pasti terjadi, namun kepribadian orang tua dapat diupayakan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori ini terdapat tiga kepribadian (anak-anak, orang dewasa, dan orang tua). Dalam menjalin sebuah hubungan interpersonal mengharuskan setiap orang untuk pandai memainkan perananya disetiap situasi. Setiap orang dapat memilih untuk menampilkan salah satu aspek kepribadiannya (anak-anak, orang dewasa, dan orang tua) yang kemudian akan dibalas orang lain dengan salah satu aspek kepribadiannya (anak-anak, orang dewasa, dan orang tua). Dalam kata lain, ketiga aspek kepribadian tersebut (anak-anak, orang dewasa, dan orang tua) dimiliki oleh semua orang dengan segala usia.

D.    Model Interaksional
Dalam model ini memandang bahwa hubungan interpersonal adalah sebagai suatu sistem dimana setiap sistem terdiri dari subsistem-subsistem atau komponen-komponen yang bertindang sebagai satu kesatuan yang sama. Menurut Johnson, Kast, & RosenZweig (1963:81-82) ada tiga komponen sistem yaitu input, proses (pengolah), dan output.
Dalam melakukan hubungan interpersonal, ketika masing-masing orang dalam berinteraksi akan memiliki sebuah maksud, tujuan, harapan, kepentingan, perasaan suka, tertekan, atau bebas. Semua hal itu dapat disebut dengan input. Input inilah yang akan menjadi komponen penggerak terjadinya suatu hubungan interpersonal. Hingga terjadilah suatu interaksi antar satu sama lain dan menjadikannya suatu proses pengolahan berbagai informasi. Dalam berinteraksi, satu sama lain akan bertukar pengalamannya masing-masing. Hingga jadilah output. Output merupakan hasil dari berinteraksi tadi. Dapat berupa pengalaman, kesenangan, dan sebagainya.
Sebagai contoh adalah ketika seorang mahasiswa baru melakukan presentasi di kelas secara individu. Dalam  presentasinya, si mahasiswa diharuskan menceritakan tentang dirinya dan pengalamannya. Si mahasiswa tersebut kemudian memilih menceritakan hobinya yang sangat menyukai traveling dan mendaki gunung. Berharap ketika ia menceritakannya, ada teman baru yang sama-sama memiliki hobi tersebut dan dapat bertukar pengalaman. Maksud atau harapan dari mahasiswa tersebut itulah yang disebut dengan input. Dalam presentasinya, mahasiswa menceritakan panjang lebar tentang hobinya berikut dengan pengalamannya. Banyak mahasiswa lain yang memberikan feedback dengan memberikan anggukan kepala atau berseru tanda mereka senang dengan ceritanya. Hingga kemudian salah satu mahasiswa baru yang mendengarkan saat ia presentasi, mengangkat tangannya dan menunjukan bahwa ia juga memiliki hobi yang sama. Kemudian mahasiswa tersebut memberikan pertanyaan-pertanyaan dan terjadilah proses bertukar pengalaman. Seusai presentasi tersebut, tentu baik mahasiswa yang melakukan presentasi atau yang meresponnya akan mendapatkan output berupa pengalaman baru. Karena sebelumnya telah terjadi interaksi antar keduannya berupa saling bertukar pengalaman.



Sumber :
Aw, Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Graha Ilmu : Yogyakarta
Rakhmat,Jalauddin. 2003, PsikologiKomunikasi.Jakarta :RemajaRosdakarya



    email this       edit

0 komentar:

Posting Komentar