Untuk Merayakan Tahun ke-7
Kau akan menjadi saksi bila kau menyadarinya. Ketika tahun demi tahun berlalu, dan kau menjadi satu satunya alasan mengapa perubahan itu terjadi.
Tahun pertama, ketika aku masih menjadi seratus persen diriku. Masih dengan otak bodohku, sifat cupuku, dan segala ketakutanku. Kamu menjadi objek pertama yang membuatku semakin mempersalahkan apa yang terjadi pada diriku. Ketika itu, terbesit dalam diriku untuk merubah semua kekuranganku. Mulai saat itu, aku belajar. Karena aku tahu kamu suka orang yang pintar.
Tahun kedua dan les matematika
Aku tahu aku bodoh. Makanya aku belajar. Meski aku belajar diantara orang-orang pintar, aku percaya nantinya akan lebih pintar dari mereka. Aku les matematika. terus saja les meski nilai di kelasku masih saja dibawah 5. Alasanku satu. Aku ingin pintar. Dan mungkin kamu juga. Karena kita belajar di tempat yang sama. Meski pasti nilaimu jauh lebih mendingan daripada aku. Aku tahu kamu suka orang pintar. Kamu juga pasti ingin pintar. Biar sama sama pintar. Pasti dua orang pintar jika bersatu akan luar biasa. Makanya aku belajar matematika, biar dibilang pintar. Kamupun begitu. Bedanya kamu belajar bukan karena bodoh dan ingin dibilang pintar tapi memang kamu ingin pintar.
Di tahun ini pula, kamu menemukan orang pintar. Orang itu jadi milikmu. Seiring kamu yang juga sudah jadi pintar beneran.
Lalu aku? Aku masih belajar.
Tahun ketiga
Aku sudah tidak cupu dan penakut meski masih saja bodoh. Alasannya karena di tahun ini rok ku sudah mengecil, jilbabku sudah segiempat, dan aku tak lagi pakai tas kura-kura. Aku juga sudah tidak pakai sepeda. Aku sudah naik motor, meski aku parkirkan di rumah temanku yang dekat dengan sekolah. Kenapa kubilang aku masih bodoh? Karena aku tidak punya sim. Sudah sekian kali aku berurusan dengan polisi karena ketilang. Yah itu saja sih alasanku bodoh. Karena saat itu nilaiku merangkak naik. Aku bahkan dapat 10 besar disalah satu kelas terbaik di sekolah terfavorit hahaha. Alasanku satu. Aku ingin pintar. Aku ingin aku belajar di sekolah yang sama lagi denganmu saat masa abu abu nanti. Ujianku saat itu juga hasilnya baik. Mati matian aku belajar demi masuk ke sekolah yang sama denganmu. Karena aku tahu kamu pintar, maka aku juga harus pintar.
Tahun keempat, putih abu-abu. Yes berhasil. Semuanya lancar. Kamu diterima dan aku juga. Begitupula pacarmu. Sepertinya persaingan semakin ketat nantinya.
Lagi-lagi kita belajar di atap yang sama. Papan tulis yang sama. Guru dan teman yang sama. Jadwal yang sama pula.
Hari-hariku senang. Kata demi kata kita tukar. Semakin dekat. Dari yang jauh menjadi teman. Dalam hati aku ucapkan, mari kita sama sama belajar. Dan saat itu kita sama sama bodoh. Rankingku merosot, dan kamu juga. Sudahlah yang penting aku mengenalmu dan kamu mengenalku. Bukan hanya aku yang mengenalmu.
Tahun kelima
Mau jurusan apa? IPA? IPS?
Mau minat apa? Ekonomi? Bahasa Inggris?
Jurusanku : IPA
Jurusanmu : IPA
Peminatanku : Ekonomi
Peminatanmu : Bahasa Inggris
Yahhh kita tak akan satu papan tulis lagi. Yang terpenting kita akan sama sama pintar.
Kenapa IPA? Sudah kubilang aku ingin dibilang pintar. Berhubung aku sedikit lebih pintar, makanya masuk IPA. Lagian aku juga ingin jadi orang jitu matematika dan segala bentuk eksakta lainnya. Biar kayak profesor nantinya. Kalau aku nanti jadi orang pintar, pasti kamu suka aku.
Satu tahun itu aku belajar eksakta. Dengan teman temanku yang alim aku juga belajar bagaimana menjadi seorang yang anggun dan lembut. Tapi tidak cupu. Dan tetap serius.
Tapi ditengah tengah tahun, sepertinya aku jenuh. Jadi kusisipi hari hariku dengan jadi penari modern di sekolah. Lumayan bisa tampil di even even. Dan tentu aku jadi ga cupu lagi.
Bagaimana denganmu? Sepertinya skill olahragamu makin bagus. Sempurna sudah dirimu jika kamu benar benar pintar dan terampil. Aku makin menggila cari cara agar semakin trampil seperti dirimu.
Yap, kamu yang jadi acuanku. Bukan pacarmu. Aku tau dia pintar. Tapi aku tak tertarik seperti dirinya. Sehingga aku bisa jadi saingannya. Aku tertarik menjadi seperti dirimu. Alasannya karena aku ingin aku sepadan denganmu. Menjadi seperti kamu. Semangatmu aku tiru.
Tahun keenam, sedihnya berpisah
Aku ingin jadi ahli gizi
Kamu? Aku tidak tahu.
Parah. Sebenernya ini tahun menyakitkan bagiku. Aku sedang krisis kepercayaan diri. Aku pesimis besar. Aku bahkan tidak dapat mengkontrol diriku.
Aku tidak bisa semua mata pelajaran yang akan diujikan di ujian nasional. Aku menolak tegas les yang menguras tenagaku. Alahasil banyak pelajaran yang tidak aku kuasai.
Disisi lain aku masih memegang teguh cita citaku. Aku ingin masuk UGM Ahli Gizi. Aku harus belajar. Berhenti menyalahkan diriku yang kurasa aku kembali menjadi orang bodoh saat itu. Stop melihat raut wajahnya yang justru semakin membanggakan didepanmu. Kembali fokus pada diriku.
Aku coba melupakan sejenak dirimu. Semangatmu mungkin tidak jadi acuanku lagi. Lah, aku patah hati. Kenapa patah hati? Pikir saja sendiri. 6 tahun berlalu aku mendewakannya. Dan tak ada satupun tahun dimana ia mendewikanku.
Aku fokus tujuanku. Dengan terpaksa aku ambil les agar aku bisa kerjakan semua soal saintek. Masa bodoh. Aku tidak akan mengikutimu. Toh kamu tidak mengikutiku.
Tentor fisikaku kompor. Dia menyuruhku melanjutkan studi ke manajemen. Alasannya karena aku sukses dengan bisnis buku soal soal ujian dan meraub untung yang menurutnya besar. Walau menurutku tidak. Iyalah karena aku harus membagi dengannya.
Tapi aku bersikeras dengan tujuanku. Aku ingin konsisten dengan cita cita awalku.
Bagaimana dengan dirimu?
Aku dengar kamu tertarik dengan broadcasting. Bahkan aku dengar kamu ingin masuk ke salah satu sekolah tinggi khusus broadcasting. Waw hebat ya dirimu. Pilihanmu antimainstream ditengah anak anak eksakta yang konservatif. Ah sudahlah toh itu tak berpengaruh denganku.
Bulan-bulan menegangkan
Ajaib... endingnya aku di ilmu komunikasi dekat dengan broadcasting...
Dan kamu? Ah itu yang itu. Kebalikan dengan diriku.
Takdir ya takdir.
Kita berpisah. Salam perpisahan. Semoga bertemu lagi. Dan salam kegagalan. Aku gagal menjadi pintar yang kau maksud. Atau mungkin aku yang salah mengartikan pintar itu apa?
Pintar bukan soal matematika
Tapi soal apa yang ada didiriku yang wajib untuk aku ketahui.
Suka denganmu bukan dengan menjadi apa yang kamu mau. Cukup jadi diri sendiri saja. Karena percuma ini tidak merubah haluanmu. Kamu tetap dengannya dan aku mati kutu.
0 komentar:
Posting Komentar