Aku Datang dari Desa
Oleh Eka Putriyana Widyastuti
"Aku datang dari desa kak"
"Aku merantau disini"
"Mencari ilmu dan kemajuan"
Sahaja Permata. 19 Tahun. Sesuai namaku, aku ingin menjadi permata yang berkilau namun tetap bersahaja. Aku adalah seorang perantau. Tidak untuk mencari nafkah, namun mencari setitik ilmu. Sudah lebih dari setengah tahun, hari-hariku kuisi dengan menuntut ilmu di kota pelajar. Aku datang dari pelosok. Tepatnya bagian paling Timur Jawa tengah. Hidupku jauh dari hingar bingar dan riuh kota. Bersahaja. Satu kata yang menggambarkan kehidupanku disana. Jauh dari konflik karena modernitas. Tapi penuh dengan gotong royong dan saling memahami.
Kini, aku meninggalkan desaku. Sebentar saja. Hanya sekejab. Karena aku akan kembali dengan harapan besar untuk desaku kelak. Membawa kemajuan untuknya nanti. Itu janjiku pada tempat kelahiranku dimana aku dibesarkan hingga sekarang.
Aku memilih Yogyakarta sebagai tempat aku mencari ilmu. Berawal dari opini masyarakat yang mengatakan Yogyakarta adalah kota pelajar, aku berangkat dengan penuh keyakinan dari desaku. Sendiri. Dengan tekad yang bulat. Orang tuaku hanya sebatas mengawasiku dari jauh. Dengan bermodal telepon dan sms. Itupun jika disana ada sinyal. Terkadang sinyal tak ada setiap saat. Begitu pelosok hingga sulit membuat sinyal handphone stabil.
Aku memilih jurusan ilmu komunikasi. Berkat seorang temanku, Rani yang dari SMA, aku dikenalkan dengan jurusan yang sangat dekat dengan kemajuan itu. Tertarik, kuputuskan untuk memilih Ilmu komunikasi UNY. Itu pun berkat rekomendasi temanku itu.
Aku cukup kesulitan saat mengikuti tes masuk perguruan tinggi demi masuk ke jurusan itu. Latar belakang sekolahku yang merupakan Sekolah Menengah Jurusan, membuatku harus belajar dari awal ilmu-ilmu sosial demi dapat menyelesaikan soal-soal berkategori SOSHUM itu. Masih ingat saat itu, aku harus berdebat dengan orang tuaku. Keinginanku untuk mengambil les tambahan di tempat bimbel harus mendapat pertentangan oleh orang tuaku. Biaya yang mahal dan tempat yang jauh tentu membuat mereka harus berpikir ulang untuk mengijinkanku. Kembali kutunjukan rasa semangatku yang menggebu, hingga membuat mereka pun luluh.
Dan sinilah aku sekarang. Perjuanganku membuahkan hasil. Berkat doa orang tua dan semangatku. Bermodal tekad yang kuat, aku harus siap menghadapi apapun di tempat yang begitu bertolak belakang kondisinya dengan tempat tinggalku.
"Boleh kakak minta id line mu?"
"Maaf kak, saya belum punya android."
Hari-hari memalukan bagiku. Saat aku sedang gencar-gencarnya beradaptasi. Kenapa aku tak pernah terpikir untuk membeli hp android dulu sebelum memulai kehidupanku disini. Padahal sebelumnya aku sudah diwanti-wanti Rani untuk membeli android. Karena hidup dikota berasa mati bila tak ada android. Semuanya menggunakan internet untuk berkomunikasi. Apalagi aku akan masuk di jurusan yang sangat berkaitan dengan media. Termasuk media sosial. Tentu aku harus punya modal.
"Oke. Kakak catat saja nomor teleponmu"
" Baik kak."
Masih ada nomor telepon. Kakak itu bisa menghubungiku dengan nomor telepon. Sambil berharap proses registrasi masuk perguruan tinggi ini cepat selesai aku segera memberikan nomor hpku. Sebelum aku ditanya hal-hal yang dapat membuatku malu.
Hari ini, aku sedang melakukan tes wawancara Pemilihan minat dan bakat dari UKM jurnalisme di kampusku. Kujawab semua pertanyaan kakak tingkat yang mewawancaraiku dengan sejujur-jujurnya. Kubilang padanya bahwa aku benar benar ingin belajar. Bukan belajar menjadi pandai layaknya cendikiawan. Aku ingin belajar terbuka dan peka terhadap peristiwa.
“Aku datang dari desa kak”. Aku mengerti posisiku saat ini. Cukup menantang memang. Aku yang ibaratkan masih kolot datang dari pelosok, berani mengambil resiko tekanan dengan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa komunikasi di kampusku sekarang ini. Aku tak mengerti apa-apa tentang komunikasi. Ilmu yang kata orang sangat kekinian. Sedang aku jauh dari kata kekinian. Jaringan internet yang lemah di rumahku menghambatku untuk berselancar mengikuti arus kekinian yang semuanya serba menggunakan internet. Aku hanya sekedar tahu saja. Sosial media seperti instagram, youtube, facebook, twiter, path dan sebagainya. Hanya saja aku tak dapat menikmatinya setiap saat. Apalagi lingkunganku yang masih bersahaja. Pemuda-pemudinya masih polos. Bagi kami, hal-hal kekinian masih tabu untuk diikuti. Kondisi ekonomi kami juga tak mungkin mendukung kami untuk mengikuti. Apalagi bagi kami, hal-hal kekinian masih dianggap tak mungkin diikuti mengingat kondisi sosial kami yang masih kental dengan budaya dan tata krama. Yang tentu saja membuat kami harus membatasi perilaku kami. Memegang handphone saat berbicara dengan orang tua saja dianggap tak sopan.
Lalu mengapa aku memilih untuk mengikuti arus kekinian, dengan masuk ke jurusan yang dianggap kekinian? Jadi, apakah aku mencoba tak mematuhi aturan di tempat tinggalku? Bukan. Bagiku ini langkah untuk berubah. Bukankah tak masalah aku menjadi orang kekinian tapi masih taat aturan? Komunikasi erat hubunganya dengan media. Erat hubungannya dengan banyak orang. Lewat ini, aku sadar bahwa ada saatnya setiap orang untuk bergerak dan muncul ke permukaan. Tidak hanya bersembunyi dalam titik aman dan nyaman saja. Suatu saat nanti, aku akan jadi orang yang sukses. Dan caranya aku harus jadi pemuda yang mengikuti jaman, peka terhadap berbagai peristiwa, dan berani mengambil langkah untuk maju dan sukses. Latar belakangku dari desa tak akan menghambatku untuk berjalan maju.
Toh aku sekarang sudah menjadi anak kota. Tinggal di kota, walau statusnya hanya perantau saja. Tapi cukup untuk merasakan hingar bingar dan riuh kota. Melihat bagaimana pemuda-pemudi kekinian melakukan aktivitasnya, bermain, belajar, eksis, nongkrong, dan sebagainya. Banyak sekali aktivitas mereka ternyata. Di lingkunganku, pemuda-pemudinya hanya dapat nongkrong di warung-warung sambil membicarakan pekerjaan mereka masing-masing dan tentang si kembang desa yang manis aduhai. Hanya sebatas itu-itu saja. Beda denganku sekarang, acara nongkrongku lebih berkualitas. Aku membicarakan berbagai projek dengan teman-temanku saat ini. film, foto, tulis-menulis, vlog. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku juga bebas bermain di sosial media. Membuatku terbuka pada dunia. Ada banyak hal yang aku ketahui lewat sosial media. Baik sesuatu yang baik maupun buruk dan tak patut dicontoh.
Setelah satu semester berlangsung, pelan-pelan aku mulai mengikuti arus. Aku mulai paham apa yang harus aku pelajari. Broadcasting salah satunya. Demi kelancarannya, aku mencoba ikut ukm radio. Bermaksud untuk mengolah kemampuan bicaraku. Aku tahu, ukm radio sangat menuntut untuk dapat mengikuti arus perkembangan jaman. Tesnya saja tak jauh-jauh dengan dunia entertaiment.
"Apa yang kau tahu tentang kehidupan anak-anak di kota?" Kakak itu memberikan pertanyaan lagi.
"Bersahaja kak"
"Bersahaja? Bagaimana bisa begitu? Tak kamu lihatlah para anak-anak di kota yang dekat dengan modernitasnya? Moral yang mulai lenyap? Bagaimana dengan tata krama yang mulai pudar?" Kakak itu memberondongku dengan pertanyaannya.
"Iya bersahaja kak. Apabila mereka menjadi anak yang sadar kemajuan sekaligus sadar nilai-nilai, moral, dan budaya. Aku datang dari desa kak. Tak banyak gambaran modernitas di sana. Setelah saya disini, saya mengenal modernitas. Banyak kemudahan untuk berkarya. Banyak inspirasi yang dapat dari mana saja. "
"Dan saya berharap. Alangkah hebatnya pemuda di negeri ini apabila mereka penuh karya. Memanfaatkan kebebasan untuk berkarya yang ada saat ini dengan masih memegang moral dan nilai-nilai serta budaya."
"Lalu apa misimu, sebagai orang desa yang datang ke kota?"
"Saya tak ingin terbelenggu dengan moral dan nilai yang ditanamkan di desa saja tanpa berkarya. Saya ingin menjadi orang yang maju. Mengikuti segala peristiwa di sekitar saya. Terus berkarya disetiap peristiwa yang saya lalui. Dan tetap memegang nilai dan moral yang diajarkan dari saya kecil."
Cerpen ini aku buat karena aku terinspirasi dari cerita kawanku se prodi tentag dirinya dan semangatnya untuk berubah ke arah yang lebih maju. Makasih ya... Semoga bisa menjadi pelajaran kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar